Murid-murid kelas lima beranjak dengan malas. Â Melayat tak pernah meringankan langkah. Â Itu perjalanan yang paling menyedihkan bagi Poltak dan teman-temannya.Â
"Seandainya bisa, Tuhan, kami tak sekalipun melayat teman yang berpulang," bisik Poltak dalam hati. Â
Rumah Polmer, Kampung Portibi, adalah rumah sarat duka pagi itu. Â Inong, among, dan dua orang adiknya duduk di dekat kepala Polmer yang terbaring damai di dalam peti jenazah. Â Ratapan sedih, dan air mata, tak henti dari inong dan adik-adiknya.Â
Saur, teman sepermainan Polmer, menceritakan apa yang telah terjadi. Â Polmer jatuh dari pohon jengkol setinggi sepuluh meter pada hari Sabtu, sore, dua hari yang lalu. Dia membantu orangtuanya panen jengkol karena sore itu ada toke jengkol mampir ke Portibi. Â
Polmer jatuh dengan posisi kepala menghantam tanah. Sebenarnya, beberapa saat setelah jatuh, Polmer langsung bangkit berdiri, seolah tak terjadi apa pun. Tapi, malam harinya, Polmer mulai demam dan mengeluh sakit kepala. Â
Demamnya semakin parah sepanjang hari Minggu. Orangtuanya berencana membawa Polmer berobat ke klinik di Parapat besok harinya, Senin.
Tapi Tuhan berkehendak lain. Senin dini hari, tepat pada kokok ayam yang pertama kali, malaikat-Nya datang menjemput Polmer. Â
Samson kecil itu, pahlawan SD Hutabolon, telah pergi meninggalkan keluarga dan teman-temannya. Dialah pahlawan kemenangan SD Hutabolon dalam pertandingan sepakbola melawan SD Sibigo. Â Dia pula pahlawan kemenangan SD Hutabolon dalam pertandingan tarik tambang melawan SD Pardomuan empat hari lalu.
"Ale amang, ale inang," Guru Gayus menyapa bapak dan ibu Polmer. Guru Harbangan dan murid-murid kelas lima berdiri di belakangnya.
"Teman-teman sekelas Polmer di kelas lima SD Hutabolon, serta kami berdua gurunya, hadir di sini untuk menyampaikan duka-cita mendalam atas berpulangnya ananda Polmer," lanjut Guru Gayus. "Dalam usianya yang teramat pendek, Polmer sudah berbuat banyak untuk sekolahnya. Dia adalah pahlawan untuk SD Hutabolon. Kami semua ... sangat kehilangan dia."
"O ale Polmer, anak hasianku. Lihatlah, teman-temanmu sudah datang.  Kau sapalah mereka. Jangan diam saja kau, hasian." Ibu Polmer meratap, menyela  Guru Gayus.Â