Ditogu-togu tanganki.
Di dalan na sai maol i.
Di parungkilon hasusaan.
Tung Jesus haporusanki.
Nang pe di dalan lao tu surgo,
Di iring Jesus ahu disi.
[Dituntun-Nya tanganku.
Di jalan mahasukar.
Dalam duka dan susah.
Hanya Yesus pengaduanku.
Pun di jalan menuju surga.
Yesus setia menemaniku.]
Tak mudah bagi Poltak menyanyikan lagu itu. Kenangannya tentang Polmer berputar seperti film dalam ingatan. Perkelahian Polmer dengan Bistok, selebrasinya dalam pertandingan sepakbola, kemarahannya dalam pertandingan tarik tambang, bogem kerasnya ke mata  Poltak, dan sepasang ingusnya yang menyimpan misteri kekuatan.
Polmer mate dakdanak, meninggal dunia dalam usia kanak-kanak. Â Upacara adat kematiannya sangat sederhana. Tulang, Â saudara laki kandung ibunya, menutupkan sehelai ulos pada jenazahnya. Itu saja.
Selanjutnya acara liturgi pemakaman. Di rumah dan di pemakaman. Dipimpin oleh Pendeta HKBP Hutabolon.
Di pemakaman, di atas bukit di pinggir kampung, alam turut berduka untuk Polmer. Cuaca mendung sempurna.  Awan hitam menggantung rendah  di langit. Renyai mulai turun.
"Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah. Dia menghembuskan nafas hidup ke dalam hidupnya. Demikianlah manusia itu menjadi mahluk yang hidup." Pendeta membacakan ayat penciptaan manusia dari Buku Kejadian.
"Namun pada waktunya, setiap manusia harus kembali kepada Sang Pencipta," lanjutnya.
Gerimis menyiram bumi. Dua orang memotong daun-daun pisang di kebun dekat pemakaman. Lalu dibagikan kepada para pelayat untuk tudung kepala.
Polmer dalam peti jenazahnya diturunkan ke dalam liang lahat.
Sambil melemparkan tanah ke dalam liang lahat, Pendeta menyerahkan Polmer ke rahim pertiwi, ke kerahiman Allah seru sekalian alam, “Yang berasal dari tanah kembali kepada tanah, yang dari debu kembali kepada debu." Â