Dari kantor bus "Permos" Kisaran, Poltak dan amangudanya naik beca mesin ke rumah mertua Parandum. Â Beda dengan beca Siantar yang dihela motor gede tua, semacam BSA dan Norton, beca Kisaran dihela motor kecil.
Hanya sekitar limabelas menit, beca sudah tiba dan berhenti tepat di depan rumah mertua Parandum. Sebuah rumah beton, dengan lantai tegel, Â di komplek perumahan pegawai PT Uniroyal. Â
Dumariris, serta  tiga adik laki-lakinya, keluar ke teras depan menyambut Poltak dan Parandum. Dua adik perempuannya, berserta ayah dan ibunya, ada di dalam rumah.
"Bah, ada Poltak. Â Poltak, mereka ini tulangmu. Harry, Richard, dan Martin." Â Dumariris memperkenalkan ketiga adik lelakinya. Usia Harry dua tahun di atasnya, Richard setahun di bawahnya, dan Martin tiga tahun di bawahnya.
"Eh, kalian bertiga. Â Salaman sama Poltak. Dia ponakan kalian," lanjut Dumariris.
"Poltak,  salaman dulu sama tulangmu itu."  Parandum mengingatkan  Poltak.Â
Tapi Poltak bergeming. Â Mematung takjub menyaksikan ketiga tulangnya. Â Kulit mereka bersih, cerah, bening. Pakaiannya bersih. Tidak seperti dirinya, dan teman-teman sekolahnya. Kulit kusam, bahkan busikan, dan pakaian juga kusam.
Ketiga tulangnya itu juga bergeming. Mengamati Poltak selayaknya melihat mahluk aneh yang baru tiba entah dari planet mana.Â
Beginilah tampilan Poltak saat itu. Â Rambut disisir ke belakang setelah diberi minyak rambut tanco milik amangudanya. Â Udara panas Kisaran telah melelehkan tanco, sehingga mengalir bersama keringat di pelipis dan dahinya. Â
Kemejanya, berbahan tetoron warna krem, melekat basah oleh keringat di tubuhnya. Begitupun celana pendek biru tetoronnya. Poltak terlihat seperti anak kecil yang baru tercebur ke dalam got.
Tapi yang paling spektakuler mungkin sandalnya. Â Poltak mengenakan sandal plastik warna biru terang yang agak kebesaran. Â Warna biru terang itu kontras benar dengan kulit kakinya yang kusam dan sedikit busikan pada betisnya. Â Minyak kelapa yang dioleskan di betisnya tak mampu menyembunyikan kulit busik itu.