Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #072] Melawat ke Sumatera Timur

30 Agustus 2021   18:02 Diperbarui: 2 September 2021   04:41 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

"Poltak, lusa kau ikut amanguda ke Kisaran, ya. Pakansi di sana." 

Poltak terlonjak riang menyambut ajakan Parandum, amangudanya.  Tawaran di atas mimpi.

"Kisaran!" soraknya dalam hati.  Hari-hari pakansi sekolah akan menjadi indah baginya. Dia menjadi anak pertama dari SD Hutabolon yang melawat ke sana.

Ibukota Kabupaten Asahan itu terletak di "Sumetera Timur", belahan timur Sumatera Utara.  Berdekatan dengan Tanjungbalai, tempat Sungai Asahan bermuara, setelah mengalir sejauh 150 kilometer dari ujung selatan Danau Toba.

"Di tempat matahari terbit," jawab Parandum saat Poltak menanyakan letak kota Kisaran. "Kalau kau seekor burung, terbang saja lurus ke timur melewati Dolok Simanukmanuk sana.  Kau akan tiba di Kisaran." Parandum memberi gambaran.

Setelah lulus sarjana muda dari IKIP Siantar, dan menikah dengan Dumariris, teman kuliahnya, Parandum dan isterinya itu tinggal di Kisaran.  Untuk sementara, dia dan istrinya menumpang  di rumah mertuanya, seorang pegawai perusahaan perkebunan PT Uniroyal.

Tinggal di Kisaran itu untuk sementara. Parandum dan Dumariris sedang menunggu penempatan sebagai guru SMA Negeri.  Sambil menunggu, mereka menjadi guru honorer dulu di sebuah SMA Negeri di Kisaran.

Dua hari yang lalu, Parandum pulang ke Panatapan. Sendirian.  "Kisaran sedang paceklik," katanya.  Dia pulang untuk minta beras kepada ibunya, nenek Poltak.

Lusa datang tak lama.  Hanya selang sehari. Walau penantiannya serasa seminggu.  Bawaan ke Kisaran sudah siap.  Sekarung beras dan empat buah nenas besar ranum.

Poltak dan amangudanya menumpang bus "Permos".  Itu satu-satunya bus yang melayani rute Toba-Asahan.  Dari Tarutung, lewat Siantar, ke Kisaran sampai Tanjungbalai dan Aek Kanopan, dan sebaliknya.  Jarak dari Panatapan ke Kisaran kurang-lebih 155 kilometer. Waktu tempuhnya kurang lebih 5 jam, termasuk 30 menit berhenti makan siang di Siantar.

"Kenapa hampir semua penumpang bus ini laki-laki, Amanguda?"  tanya Poltak sedikit heran.

"Oh, mereka itu panombang,"  jawab Parandum singkat.  

Poltak tak perlu penjelasan lagi.  Lelaki dewasa di Panatapan sudah kerap memperbicangkan kegiatan manombang, membuka lahan sawah baru di kawasan  hutan Aek Kanopan, sebelah selatan Asahan. 

Cukup banyak lelaki Batak Toba yang menjadi panombang. Kalau sudah berhasil membuka sawah di rantau timur, dan panennya lumayan bagus, barulah keluarganya dibawa serta.

Perjalanan ke arah timur, selepas Siantar, menjadi pengalaman baru untuk Poltak.  Untuk pertama kalinya dia menyaksikan langsung perkebunan rambung, karet, di sisi kiri dan kanan jalan raya.  Luas seakan tak ada habisnya.

"Kenapa pohon-pohon rambung itu condong ke utara, Amanguda?"

"Bah. Tak tahulah aku itu. Kau tanya gurumu saja nanti," jawab Parandum. 

Sungguh, dia tak tahu jawabannya.  Berulang kali lewat jalan raya Siantar-Kisaran, baru kali ini pula dia sadar soal itu. "Untunglah aku bukan guru Si Poltak," bisiknya dalam hati. "Bisa kena darah tinggi."

"Jangan lihat ke luar terus. Nanti kau pusing, mabuk!" Parandum mengingatkan Poltak.

Tapi sudah terlambat.  Kepala Poltak sudah pusing, mata berkunang-kunang.  Perut mual, isinya naik ke kerongkongan, lalu, "Hueek." Poltak menyemburkan muntahan ke luar lewat jendela bus.  Parandum mengangsurkan obat dari segala penyakit: minyak angin.

Hari sudah menjelang sore saat bus "Permos" tiba di kota Kisaran.  Dari Kisaran, bus itu masih akan melanjutkan perjalanan ke Tanjungbalai. Kemudian, ke Aek Kanopan mengantar para panombang. 

Dari kantor bus "Permos" Kisaran, Poltak dan amangudanya naik beca mesin ke rumah mertua Parandum.  Beda dengan beca Siantar yang dihela motor gede tua, semacam BSA dan Norton, beca Kisaran dihela motor kecil.

Hanya sekitar limabelas menit, beca sudah tiba dan berhenti tepat di depan rumah mertua Parandum. Sebuah rumah beton, dengan lantai tegel,  di komplek perumahan pegawai PT Uniroyal.  

Dumariris, serta  tiga adik laki-lakinya, keluar ke teras depan menyambut Poltak dan Parandum. Dua adik perempuannya, berserta ayah dan ibunya, ada di dalam rumah.

"Bah, ada Poltak.  Poltak, mereka ini tulangmu. Harry, Richard, dan Martin."  Dumariris memperkenalkan ketiga adik lelakinya. Usia Harry dua tahun di atasnya, Richard setahun di bawahnya, dan Martin tiga tahun di bawahnya.

"Eh, kalian bertiga.  Salaman sama Poltak. Dia ponakan kalian," lanjut Dumariris.

"Poltak,  salaman dulu sama tulangmu itu."  Parandum mengingatkan  Poltak. 

Tapi Poltak bergeming.  Mematung takjub menyaksikan ketiga tulangnya.  Kulit mereka bersih, cerah, bening. Pakaiannya bersih. Tidak seperti dirinya, dan teman-teman sekolahnya. Kulit kusam, bahkan busikan, dan pakaian juga kusam.

Ketiga tulangnya itu juga bergeming. Mengamati Poltak selayaknya melihat mahluk aneh yang baru tiba entah dari planet mana. 

Beginilah tampilan Poltak saat itu.  Rambut disisir ke belakang setelah diberi minyak rambut tanco milik amangudanya.  Udara panas Kisaran telah melelehkan tanco, sehingga mengalir bersama keringat di pelipis dan dahinya.  

Kemejanya, berbahan tetoron warna krem, melekat basah oleh keringat di tubuhnya. Begitupun celana pendek biru tetoronnya. Poltak terlihat seperti anak kecil yang baru tercebur ke dalam got.

Tapi yang paling spektakuler mungkin sandalnya.  Poltak mengenakan sandal plastik warna biru terang yang agak kebesaran.  Warna biru terang itu kontras benar dengan kulit kakinya yang kusam dan sedikit busikan pada betisnya.  Minyak kelapa yang dioleskan di betisnya tak mampu menyembunyikan kulit busik itu.

Poltak dan ketiga tulangnya sama-sama bergeming.  Sebuah pertemuan yang menggelikan, antara tiga anak kota dan seorang anak dusun.

"Kak Duma.  Apakah Poltak itu tak pernah mandi?"  Martin, tulang Poltak yang paling kecil, tiba-tiba bertanya polos, jujur dari hatinya. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun