"Cepat, ambil, Poltak!" bisik raja iblis itu saat kakeknya lengah meletakkan rokok kretek di samping duduknya. Lalu, dengan cepat, sebatang rokok kretek telah berpindah ke tangan seorang calon pastor.
Pagi itu, saat jam istirahat, semua murid lelaki kelas lima SD Hutabolon berkumpul di tengah rerimbunan semak-semak di belakang sekolah.
"Ini cita-cita kita!" Poltak berteriak dengan suara tertahan, sambil mengambil sebatang rokok kretek, dan mengacungkannya ke udara.
"Oi, sedaplah itu." "Mantap kali." "Ayo, isap." "Harum kali pun." "Mana macis." "Cepat sulut."Â
Ungkapan-ungkapan antusias tumpang-tindih tercetus dari mulut-mulut kecil. Semua anak mendadak naik gairah. Adrenalin terpacu. Mata berbinar. Ketaksabaran khas anak kecil.
"Sabar. Semua kebagian. Seorang dua kali isapan. Aku dulu yang pertama." Poltak menenangkan teman-temannya.
Inilah gaya Poltak. Sebatang rokok kretek idaman itu diselipkan di bibirnya. Diambilnya macis tinggalan almarhum kakeknya dari saku celana. Telapak tangan kiri dihadangkan di ujung rokok. Tangan kanan menyalakan macis, lalu menyulut ujung rokok. Satu isapan panjang menciptakan bara di ujung rokok, diiringi bunyi kretek-kretek, dan aroma wangi rempah meruap ke udara.
"Uhuk uhuk uhuk." Poltak terbatuk hebat saat asap rokok kretek itu menjajah ruang paru-parunya. Wajahnya memerah, matanya berkunang-kunang, dan kepalanya terasa pusing tujuh keliling.Â
Lupakan asap rokok bentuk donat berkejaran ke udara. Tak adalah itu.
"Aku." "Aku dulu." "Giliranku." Teman-teman Poltak berebutan mengisap kretek itu, sambil menertawakan Poltak yang sudah jongkok menahan rasa pusing.
"Oi! Pak Guru boleh ikut merokok?"Â