Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #071] Pelajaran Merokok dari Guru Harbangan

18 Agustus 2021   06:11 Diperbarui: 20 Agustus 2021   13:29 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase foto oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Guru adalah teladan terbaik kedua bagi anak kecil, setelah bapak-ibunya.  Atau,  untuk kasus Poltak, setelah kakek-neneknya. Sebab dia sejak bayi tinggal bersama kakek-neneknya.

Bagi murid-murid lelaki kelas lima SD Hutabolon, teladan itu siapa lagi kalu bukan Guru Harbangan.  Murid-murid itu kagum dan sangat menikmati keahlian Guru Harbangan merokok.  Keren gayanya, sedap ekspresinya.

Terutama kalau sedang mengisap rokok kretek bikinan Surabaya, Pulau Jawa.  Di depan kelas, Guru Harbangan akan menyedot asap rokoknya dalam-dalam, sampai memenuhi ruang paru-parunya, sambil matanya memicing.  

Lalu sambil membulatkan bibir mirip mulut botol,  gumpalan-gumpalan asap berbentuk kue donat ditiupkan satu per satu dari mulutnya.  Donat-donat asap itu berkejaran ke udara, meruapjan aroma harum rempah.

Kalau sudah begitu, mulut murid-murid lelaki akan mangap terkagum-kagum.  Tentu Polmer yang paling ekspresif.  Sampai lupa menarik sepasang ingus hijaunya kembali ke sarang.  

"Aku ingin merokok seperti gaya Guru Harbangan," kata Poltak kepada teman-temannya, suatu waktu saat keluar main, di sela-sela keriuhan main gundu. 

"Aku juga."  "Aku pun!"  "Aku juga mau." "Sama, aku pun."  "Aku ikut." Binsar, Bistok, Polmer, Alogo, dan Jonder bergantian menyahuti. 

Teman-teman sekelas Poltak yang lainnya manggut-manggut.  Ingin juga bisa seperti Guru Harbangan.

Merokok bagi Poltak, Binsar, Bistok  dan teman-temannya bukanlah sesuatu yang tabu. Sebab bagi  orang Batak di Panatapan dan sekitarnya, juga Hutabolon dan sekitarnya, merokok adalah tanda kelelakian.

Tiga sekawan Poltak, Binsar, dan Bistok sendiri sudah terbiasa merokok kawung kosong.  Itu lazim dilakukan saat maranggap, melek-melekan warga kampung di rumah keluarga yang baru dikaruniai kelahiran anak. 

Terkadang kawung itu diisi juga dengan sedikit tembakau Shaq.  Tembakau itu diambil diam-diam dari tagan-tagan, kotak kaleng kecil tempat menyimpan tembakau, biasanya bekas wadah pomade.

Jika ada larangan merokok bagi anak-anak, maka alasannya karena belum bisa cari nafkah. Rokok harus dibeli dengan uang hasil ketingat sendiri. Jadi, merokok adalah proklamasi kemandirian keuangan.

Sedemikian hebatnya pengaruh Guru Harbangan itu. Sehingga Poltak dan teman-teman sekelasnya mengguratkan keinginanc merokok kretek buatan Surabaya sebagai cita-cita.  Mereka ingin meniru gaya guru mereka.

Jelas itu bukan cita-cita yang mudah di wujudkan.  Soalnya, rokok kretek yang diisap Guru Harbangan itu paling mahal di kelasnya. Uang dari mana untuk membelinya.

Karena mahal, sangat jarang lelaki Panatapan ataupun Hutabolon mengisap rokok itu. Sehingga peluang untuk mencopet sebatang rokok saja sangatlah kecil.

Lazimnya lelaki Panatapan dan Hutabolon mengisap rokok putih kelas bawah. Itu rokok bikinan sebuah pabrik di Pematang Siantar. Myrah harganya, tak sedap aromanya.

Guru Harbangan sendiri paling banyak mengisap rokok kretek itu dua kali dalam seminggu. Belinya dua atau tiga batang. Lalu dimasukkan dalam kemasan asli bekas yang tampak baru. Kesannya, seakan-akan baru beli sebungkus isi sepuluh batang.

Tapi peluang bagi Poltak dan kawan-kawan datang pada waktu dan tempat tak terduga. Parandum, amanguda Poltak, menikah dengan Dumariris, teman kuliahnya di IKIP Siantar. Pesta adatnya diadakan di Panatapan, rumah pihak lelaki. Di keriuhan pesta itulah mata jelu Poltak melihat peluang.

Ama Rugun, kakek Poltak nomor enam yang tinggal di Sumatera Timur, ternyata merokok kretek idaman setiap lelaki itu. "Inilah saatnya meraih cita-cita," desis Poltak.

Tidak sulit mendapatkan barang yang diidamkan di tengah kesibuk-riuhan pesta adat perkawinan orang Batak. Hanya satu syaratnya: tabah menanti pemilik barang lengah. Dan di tengah pesta, orang cenderung lengah.

Itulah yang terjadi. Ama Rugun tak curiga sedikit pun pada Poltak, cucu yang di matanya lugu dan lucu itu.  Tak sangka di balik keluguan dan kelucuan itu Lucifer sedang meraja. 

"Cepat, ambil, Poltak!" bisik raja iblis itu saat kakeknya lengah meletakkan rokok kretek di samping duduknya. Lalu, dengan cepat, sebatang rokok kretek telah berpindah ke tangan seorang calon pastor.

Pagi itu, saat jam istirahat, semua murid lelaki kelas lima SD Hutabolon berkumpul di tengah rerimbunan semak-semak di belakang sekolah.

"Ini cita-cita kita!" Poltak berteriak dengan suara tertahan, sambil mengambil sebatang rokok kretek, dan mengacungkannya ke udara.

"Oi, sedaplah itu." "Mantap kali." "Ayo, isap." "Harum kali pun." "Mana macis." "Cepat sulut." 

Ungkapan-ungkapan antusias tumpang-tindih tercetus dari mulut-mulut kecil. Semua anak mendadak naik gairah. Adrenalin terpacu. Mata berbinar. Ketaksabaran khas anak kecil.

"Sabar. Semua kebagian. Seorang dua kali isapan. Aku dulu yang pertama." Poltak menenangkan teman-temannya.

Inilah gaya Poltak. Sebatang rokok kretek idaman itu diselipkan di bibirnya. Diambilnya macis tinggalan almarhum kakeknya dari saku celana. Telapak tangan kiri dihadangkan di ujung rokok. Tangan kanan menyalakan macis, lalu menyulut ujung rokok. Satu isapan panjang menciptakan bara di ujung rokok, diiringi bunyi kretek-kretek, dan aroma wangi rempah meruap ke udara.

"Uhuk uhuk uhuk." Poltak terbatuk hebat saat asap rokok kretek itu menjajah ruang paru-parunya. Wajahnya memerah, matanya berkunang-kunang, dan kepalanya terasa pusing tujuh keliling. 

Lupakan asap rokok bentuk donat berkejaran ke udara. Tak adalah itu.

"Aku." "Aku dulu." "Giliranku." Teman-teman Poltak berebutan mengisap kretek itu, sambil menertawakan Poltak yang sudah jongkok menahan rasa pusing.

"Oi! Pak Guru boleh ikut merokok?" 

Tiba-tiba saja Guru Harbangan sudah berdiri di dekat Poltak dan kawan-kawannya. Di belakangnya ada Berta dan Tiur. Keduanya adalah informan  Guru Harbangan. 

"Dapat rokok kretek dari mana kau, Poltak." Guru Harbangan menginterogasi. Sambil mengamati rokok sitaan di tangannya. "Lumayan juga, masih sisa tiga perempat  batang," pikirnya.

"Santabi, Grunami. Aku ambil rokok ompungku," jawab Poltak sambil menahan rasa pusing.

"Bah! Mencuri pula kau itu, Poltak." Guru Harbangan melotot. "Lalu, dari siapa kau belajar merokok seperti ini," lanjutnya. Tadi Guru Harbangan sempat mengintip gaya merokok Poltak.

"Santabi, Gurunami. Aku belajar dari Gurunami. Santabi, Gurunami," jawab Poltak polos.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Sekarang giliran Guru Harbangan yang pusing tujuh keliling. (Bersambung)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun