Adegan dimulai dari tayangan artikel Steven. Ini artikel aneh:  di awal maunya merisak, di tengah  belok jadi curhat, dan di ujung berubah jadi tip dan cara menggaet banyak pembaca artikel. Ya, begitulah Millenial Plus, maunya banyak. Macam Steven itu, maunya banyak K-Rewards, bukan?
Intinya, Steven gerah direndahkan Kompasianer Pramillenial bernama Engkong Felix. Dalam artikel namanya  disemukan jadi "R" (Risakan).  Kata Engkong, mewakili Pramillenial, Kompasianer Steven itu, mewakili Milenial Plus, termasuk bilangan "penulis sampah bermodal spoiler manga". Gak levellah dengan Engkong, "penulis berkualitas gak butuh duit". Â
Darah muda mendidih, Steven meradang. Dibongkarnyalah rahasia derita Engkong: gak mutu karena artikelnya gak pernah HL (ajrit, telak banget), bilang gak butuh duit tapi merengek minta K-Rewards (eh busyet, telak lagi). "Iri bilang, boss!" semburnya.
"Elo tau gak," lanjut Steven. "Gue kerja keras nulis spoiler manga itu. Gue begadang. Gue anggurin tuh pacar." (Emang lagi PPKM juga Steven, lebay elo, ah.)Â
Oke, lanjut! "Gue sungsang-sumbel jualan ke semua komunitas manga dan anime Jepang. Nah, kalau gue berhasil menjaring ribuan pembaca dan jutaan K-Rewards, ya, wajar, dong. Admin K aja heppi, lha, kok elo protes, pake ngehina gue. Asal elo tahu aja, gue ini mahasiswa dan gak jomlo!" (Eh, Steven, elo gak usah pake nyenggol Bang Ozy, dong.)
Diberondong Steven begitu, Engkong mingkem, diam seribu bahasa. "Ya, sudahlah," sungutnya dalam hati, "emang zamannya udah berubah. Sekarang era kejayaan Naruto dan Monyet D'Luffy. Â Era Si Buta dari Gua Hantu dengan monyet Si Kliwon nangkring di bahu sudah lewat."
***
Benturan peradaban, tepatnya benturan budaya literasi baca-tulis, itulah yang sedang terjadi di Kompasiana. Steven itu secara impersonal mewakili budaya literasi baca-tulis kaum Millenial Plus yang doyan manga Jepang dan komik Marvel.
Sebaliknya, Engkong Felix secara impersonal mewakili budaya literasi baca-tulis Pramilienial yang doyan komik angkatan Si Buta dari Gua Hantu dan Album Cetita Ternama, atau paling jauh Tintin, Asterix, dan Smurf. Â
Komunikasi antara dua kelompok budaya literasi baca-tulis itu gak nyambung. Yang ada baku-nyolot, masing-masing merasa budaya literasinya yang paling top, adiluhung. Inilah benturan peradaban itu. Bukan antara kelompok negara/bangsa, tapi antara kelompok generasi, Pramillenial versus Millenial Plus.
Manga itu tak masuk di akal Pramillenial. Engkong misalnya tak habis pikir, kenapa baca manga harus mulai dari halaman belakang. Bukan dari halaman depan, seperti baca komik horor karangan Jair, atau komik silat Jan Mintaraga.