Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

"Benturan Peradaban" di Jagad Kompasiana

11 Agustus 2021   06:21 Diperbarui: 11 Agustus 2021   13:12 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adegan dimulai dari tayangan artikel Steven. Ini artikel aneh:  di awal maunya merisak, di tengah  belok jadi curhat, dan di ujung berubah jadi tip dan cara menggaet banyak pembaca artikel. Ya, begitulah Millenial Plus, maunya banyak. Macam Steven itu, maunya banyak K-Rewards, bukan?

Intinya, Steven gerah direndahkan Kompasianer Pramillenial bernama Engkong Felix. Dalam artikel namanya  disemukan jadi "R" (Risakan).  Kata Engkong, mewakili Pramillenial, Kompasianer Steven itu, mewakili Milenial Plus, termasuk bilangan "penulis sampah bermodal spoiler manga". Gak levellah dengan Engkong, "penulis berkualitas gak butuh duit".  

Darah muda mendidih, Steven meradang. Dibongkarnyalah rahasia derita Engkong: gak mutu karena artikelnya gak pernah HL (ajrit, telak banget), bilang gak butuh duit tapi merengek minta K-Rewards (eh busyet, telak lagi). "Iri bilang, boss!" semburnya.

"Elo tau gak," lanjut Steven. "Gue kerja keras nulis spoiler manga itu. Gue begadang. Gue anggurin tuh pacar." (Emang lagi PPKM juga Steven, lebay elo, ah.) 

Oke, lanjut! "Gue sungsang-sumbel jualan ke semua komunitas manga dan anime Jepang. Nah, kalau gue berhasil menjaring ribuan pembaca dan jutaan K-Rewards, ya, wajar, dong. Admin K aja heppi, lha, kok elo protes, pake ngehina gue. Asal elo tahu aja, gue ini mahasiswa dan gak jomlo!" (Eh, Steven, elo gak usah pake nyenggol Bang Ozy, dong.)

Diberondong Steven begitu, Engkong mingkem, diam seribu bahasa. "Ya, sudahlah," sungutnya dalam hati, "emang zamannya udah berubah. Sekarang era kejayaan Naruto dan Monyet D'Luffy.  Era Si Buta dari Gua Hantu dengan monyet Si Kliwon nangkring di bahu sudah lewat."

***

Benturan peradaban, tepatnya benturan budaya literasi baca-tulis, itulah yang sedang terjadi di Kompasiana. Steven itu secara impersonal mewakili budaya literasi baca-tulis kaum Millenial Plus yang doyan manga Jepang dan komik Marvel.

Sebaliknya, Engkong Felix secara impersonal mewakili budaya literasi baca-tulis Pramilienial yang doyan komik angkatan Si Buta dari Gua Hantu dan Album Cetita Ternama, atau paling jauh Tintin, Asterix, dan Smurf.  

Komunikasi antara dua kelompok budaya literasi baca-tulis itu gak nyambung. Yang ada baku-nyolot, masing-masing merasa budaya literasinya yang paling top, adiluhung. Inilah benturan peradaban itu. Bukan antara kelompok negara/bangsa, tapi antara kelompok generasi, Pramillenial versus Millenial Plus.

Manga itu tak masuk di akal Pramillenial. Engkong misalnya tak habis pikir, kenapa baca manga harus mulai dari halaman belakang. Bukan dari halaman depan, seperti baca komik horor karangan Jair, atau komik silat Jan Mintaraga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun