Pertarungan penulis Pramillenial versus Millenial Plus di Kompasiana adalah pertarungan budaya literasi Si Buta dari Gua Hantu dan Monyet Si Kliwon versus Naruto dan Monyet D'Luffy. - Felix Tani
 Â
Judul artikel ini pasti mengingatkan kita pada tesis benturan peradaban (clash of civilization) dari Samuel  Huntington. Katanya, pasca perang dingin, perbedaan identitas budaya dan agama akan tampil sebagai sumber konflik.
Tapi tenang saja. Engkong Felix tak hendak membahas tesis  Huntington itu di sini. Itu tesis makro yang meramal konflik antar kelompok negara yang mewakili peradaban (budaya dan agama) tertentu. Seperti apa persisnya, Engkong juga tak paham.
Engkong hanya menukil sedikit saja dari faktor budaya, salah satu sumber benturan peradaban itu. Sedikit saja yaitu budaya literasi. Secara spesifik budaya baca-tulis. Â Meskipun sangat kecil, boleh dong Engkong tetap memakai judul utama "Benturan Peradaban".Â
Mengapa tak pakai judul "Clash of Civilization"? Kan keren, tuh. Maaf, ya, Engkong bukan Admin K dan Kompasianer Melinial yang gemar "keminggris". Nah, jelas, bukan? Â Ada benturan peradaban di Kompasiana ini? Â Sekurangnya benturan budaya literasi baca-tulis?
Itu yang Engkong mau kupas sedikit.  Titik masuknya artikel Kompasianer Milenial Steven Chaniago, "Berbekal Ilmu Engkong Felix, Inilah Kompasianer Pertama yang Kurisak" (K 10/8/2021). Memang Steven itu rada  kurang asem. Saat merisak orang, dia bawa-bawa nama Engkong. Giliran pembagian K-Rewards, beuh, kepikir pun tak.
***
Sebelum lanjut, Engkong pilah dulu Kompasianer menjadi tiga kelompok. Pramillenial (Baby Boomer dan Gen X, lahir 1946-1980), Millenial (lahir 1981-1996), dan Pasca-Millenial (Gen Z dan Post Gen Z, lahir 197 ke atas). Dua kelompok terakhir kita sebut saha Milenial Plus, ya. Nah, Steven itu Milenial Plus sedangkan Engkong, misalnya, Pramillenial.
Dua kelompok besar itulah kini yang sedang berkonflik di Kompasiana. Pemeran utama, Steven Chaniago dan Felix Tani (selebihnya figuran). Sutradara, Â Admin Kompasiana. Juru kamera merangkap tukang catat adegan, Engkong Felix.
Adegan dimulai dari tayangan artikel Steven. Ini artikel aneh:  di awal maunya merisak, di tengah  belok jadi curhat, dan di ujung berubah jadi tip dan cara menggaet banyak pembaca artikel. Ya, begitulah Millenial Plus, maunya banyak. Macam Steven itu, maunya banyak K-Rewards, bukan?
Intinya, Steven gerah direndahkan Kompasianer Pramillenial bernama Engkong Felix. Dalam artikel namanya  disemukan jadi "R" (Risakan).  Kata Engkong, mewakili Pramillenial, Kompasianer Steven itu, mewakili Milenial Plus, termasuk bilangan "penulis sampah bermodal spoiler manga". Gak levellah dengan Engkong, "penulis berkualitas gak butuh duit". Â
Darah muda mendidih, Steven meradang. Dibongkarnyalah rahasia derita Engkong: gak mutu karena artikelnya gak pernah HL (ajrit, telak banget), bilang gak butuh duit tapi merengek minta K-Rewards (eh busyet, telak lagi). "Iri bilang, boss!" semburnya.
"Elo tau gak," lanjut Steven. "Gue kerja keras nulis spoiler manga itu. Gue begadang. Gue anggurin tuh pacar." (Emang lagi PPKM juga Steven, lebay elo, ah.)Â
Oke, lanjut! "Gue sungsang-sumbel jualan ke semua komunitas manga dan anime Jepang. Nah, kalau gue berhasil menjaring ribuan pembaca dan jutaan K-Rewards, ya, wajar, dong. Admin K aja heppi, lha, kok elo protes, pake ngehina gue. Asal elo tahu aja, gue ini mahasiswa dan gak jomlo!" (Eh, Steven, elo gak usah pake nyenggol Bang Ozy, dong.)
Diberondong Steven begitu, Engkong mingkem, diam seribu bahasa. "Ya, sudahlah," sungutnya dalam hati, "emang zamannya udah berubah. Sekarang era kejayaan Naruto dan Monyet D'Luffy. Â Era Si Buta dari Gua Hantu dengan monyet Si Kliwon nangkring di bahu sudah lewat."
***
Benturan peradaban, tepatnya benturan budaya literasi baca-tulis, itulah yang sedang terjadi di Kompasiana. Steven itu secara impersonal mewakili budaya literasi baca-tulis kaum Millenial Plus yang doyan manga Jepang dan komik Marvel.
Sebaliknya, Engkong Felix secara impersonal mewakili budaya literasi baca-tulis Pramilienial yang doyan komik angkatan Si Buta dari Gua Hantu dan Album Cetita Ternama, atau paling jauh Tintin, Asterix, dan Smurf. Â
Komunikasi antara dua kelompok budaya literasi baca-tulis itu gak nyambung. Yang ada baku-nyolot, masing-masing merasa budaya literasinya yang paling top, adiluhung. Inilah benturan peradaban itu. Bukan antara kelompok negara/bangsa, tapi antara kelompok generasi, Pramillenial versus Millenial Plus.
Manga itu tak masuk di akal Pramillenial. Engkong misalnya tak habis pikir, kenapa baca manga harus mulai dari halaman belakang. Bukan dari halaman depan, seperti baca komik horor karangan Jair, atau komik silat Jan Mintaraga.
Sementara Millenial Plus berpikir, kalau bisa mulai dari belakang, mengapa harus dari depan? Dari belakang lebih asyik, tauk. Nah, ini pemberontakan literasi. Revolusi cara membaca.Â
Itu baru konflik cara baca. Belum tentang isi bacaannya. Â Si Buta dari Gua Hantu itu bisa ditebak jalan ceritanya, karena cenderung linier. Itu memang cara pikir Pramillenial.Â
Sebaliknya jalan cerita manga, misalnya Naruto, itu divergen dan serba takterduga. Lagi imajinasinya gila betul. Nah, itu yang digandrungi Millenial Plus. Kreatif dan berontak!
Malanglah nasib Kompasianer Pramillenial. Admin K sekarang diisi arek-arek Millenial Plus berpola pikir mangaisme. Para anak muda yang gandrung berpikir dan bertindak seturut alur cerita dan tokoh-tokoh manga.Â
Maka muncullah topil-topil Kompasiana yang mengundang kontroversi. Bagi Pramillenial aneh, asing. Tapi bagi Millenial Plus itu akrab, asyik.
Berjayalah kini kaum Millenial Plus di Kompasiana, dengan artikel-artikel mereka yang "takmutu" di mata Pramillenial. Sementara Pramillenial dirundung postpower syndrome. Terutama para penulis politik yang slot "terpopuler"-nya kini dikuasai penulis spoiler manga (dan anime).Â
Reaksi Premillenial  sebenarnya beragam. Ada yang bisa menerima keadaan, semisal Pak Tjiptadinata dan Mas Katedra yang setia menulis nasihat.  Ada yang coba banting setir nulis resep masakan semisal Mas Fery, atau nulis bola seperti Prov. Al Pebrianov.  Ada yang palugada macam Acek Rudy. Ada yang mundur dulu kayak Mas Yon Bayu. Ada yang frustasi menunggu sapi bunting, macam Engkong Felix van Gangsapi. (Yah, gimana mau bunting, wong sapinya jantan. Ada psikiater di sini?)Â
Satu-satunya yang heppi dengan benturan peradaban di Kompasiana adalah Admin K. Admin sukses menyutradarai dan menggelar drama benturan peradaban budaya litererasi baca-tulis di panggung Kompasiana.Â
Tema drama itu, "Menjadikan Kompasiana Ajang Produktif bagi Benturan Peradaban Pramillenial dan Millenisl Plus". Nah, gempar sudah. Penonton ramai, iklan banyak, duit mengalir. Tapi K-Reward Engkong selaku juru kamera dan tukang catat adegan kok tetap cekak, ya. (eFTe)
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H