Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #063] Dokter Gigi Gadungan dari SD Hutabolon

25 Juni 2021   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2021   08:33 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kolase oleh FT (Foto: kompas.com/dok. istimewa)

Pagi-pagi, sebelum Guru Paruhum masuk kelas, murid-murid kelas empat sudah riuh oleh perdebatan jumlah gigi manusia dan kerbau.

"Tak mungkinlah jumlah gigi kerbau sama dengan jumlah gigi manusia! Kan, rahangnya jauh lebih besar!"  Jonder bersikeras.  Di kubunya ada Adian dan Togu.

"Ukuran giginya juga besar!  Bukan macam gigi kau itu!" Poltak berargumen.  Di kubunya ada Binsar dan Bistok.

Itu perdebatan antara anak Panatapan dan anak Sorpea.  Anak-anak lainnya jadi penonton. Mengompori dan menikmati perdebatan.

"Kalau bukan tigapuluhdua, lalu berapa jumlah gigi kerbau!" tanya Poltak menantang.  

Dalam pelajaran Ilmu Hayat, Guru Paruhum mengajarkan jumlah gigi manusia tigapuluhdua.  Di rahang atas dan bawah, kiri dan kanan, terdapat seluruhnya 12 geraham besar, 8 geraham kecil, 4 taring, dan 8 gigi seri.

"Lebih banyaklah pokoknya dari jumlah gigimu!"  jawab Jonder sengit.  "Kau pernah hitung jumlah gigi kerbau?"

"Pernahlah! Makanya aku tahu jumlahnya tigapuluhdua!"  Poltak tak kurang sengit pula.

"Oi! Diamlah kalian itu.  Pusing aku.  Sakitlah gigiku."  Polmer melerai sambil mengeluh.  

"Anak-anak, ada apa kalian ribut?"  Guru Paruhum tiba-tiba saja sudah ada di pintu kelas.  Bertanya sambil  menyapukan pandangan ke seluruh muridnya.

"Gigi Polmer, eh, gigi kebau, Gurunami." Alogo menjelaskan. "Kata Poltak jumlah gigi kerbau tigapuluhdua.  Kata Jonder lebih dari tigapuluh dua."

"Oh, begitu.  Poltak, tahu dari  mana kau jumlah gigi kerbau tigapuluhdua."

"Aku pernah hitung, Gurunami."

"Betul.  Tigapuluhdua."

"Na, kubilang juga apa, Jonder.  Gingging kali pula kau itu!" sambar Poltak, merasa menang atas Jonder.

"Diam kau, Poltak.  Pak Guru belum selesai bicara.  Ini pelajaran Ilmu Hayat. Ambil buku catatan." Guru Paruhum maju ke depan papan tulis dan menggambar susunan gigi kerbau.

"Jumlah geraham besar kerbau semuanya duabelas.  Geraham kecil juga duabelas.  Lalu gigi seri hanya ada di rahang bawah, delapan gigi."

"Kerbau tak punya gigi taring.  Kenapa, Tiur."  

"Karena kerbau tak makan daging, Gurunami."

"Betul.  Kerbau makan rerumputan. Kenapa kerbau tak punya gigi seri di rahang atas?  Bistok?"

"Kerbau memotong rumput dengan gigi seri bawah dan lidahnya, Gurunami."

"Untuk apa kerbau punya duapuluh empat geraham?  Polmer?"

"Tungkolon, Gurunami.  Amangoi, sakit kalilah ini.  Saitku goyang pula.  Matilah aku."  Bukannya menjawab pertanyaan, Polmer malah mengeluhkan sakit giginya.  Saru geraham kecilnya di rahang kiri bawah tungkolon, berlubang.  Satu sait, taring, di rahang kanan bawah goyah.  

"Bah, tungkolon itu karena kau jorok, Polmer. Kurasa, tak pernah gosok gigi kau itu.  Kalau saitmu itu, memang sudah umurmu untuk ganti gigi taring bawah."  Guru Paruhum menjelaskan ikhwal sakit gigi Polmer.

Anak-anak SD Hutabolon memang jarang gosok gigi menggunakan sikat dan pasta.  Alat dan bahan pembersih gigi buatan kota itu tergolong mewah untuk keluarga mereka. Lazimnya, anak-anak itu menggosok giginya menggunakan daun simaroma-oma, sejenis rumput air atau rawa berdaun jarum.

"Amangoi, sakit kalilah ini, Gurunami," keluh Polmer memelas.  Samson Hutabolon itu betul-betul tak berdaya dibikin bakteri renik yang menggerogoti gerahamnya.  Sebenarnya, itu adalah upah anak jorok.

"Gurunami, kurasa aku bisa mengurangi sakit Si Polmer."  Poltak menawark gan bantuan. Dia tak tega juga melihat kawannya itu menderita.

"Bagaimana, Poltak."

"Aku bisa cabut saitnya yang goyah.  Aku diajari ompungboruku caranya."

"Betul begitu?" Guru Paruhum ragu.  "Polmer, maju kau ke depan.  Kau juga, dokter gigi Poltak."  Guru Paruhum sekarang yakin pada Poltak.

Polmer duduk di kursi Guru Paruhum. Poltak bersiap melakukan aksi cabut gigi pakai jari. 

"Buka mulutmu, Polmer!"  perintah Poltak.  

Polmer membuka mulutnya lebar-lebar. Giginya kuning berkerak jorok tampak jelas. Gigi taring di rahang kanan bawah tampak sudah oglek.  Ibarat kata, ditiup saja, itu gigi langsung tumbang.

"Ini contoh gigi jorok," kata Guru Paruhum menegaskan.

"Aaauuh!"  Polmer mengaduh saat Poltak menjalankan prosedur pencabutan gigi goyah. Memencet sambil mengurut gusi sampai gigi copot dari akarnya.

"Diam mulutmu, Polmer. Bau kalipun napas kau. Jangan menggek kau!"  Poltak menegur Polmer yang dianggapnya menggek, manja, cengeng. "Nah, beres. Ini gigimu. Ambil. Kantongi. Jangan kau telan."  Poltak menyerahkan sebuah gigi taring kepada Polmer. 

Misi cabut gigi sukses.  Guru Paruhum dan murid-murid kelas empat tepuk tangan untuk Poltak.  Dokter gigi gadungan dari SD Hutabolon itu.

"Kalau obat tungkolon, apa, Poltak.  Sakitlah ini."  Polmer masih mengeluh juga.

"Bah, masih mengeluh juga dia.  Poltak, kata ompungmu, apa obat tungkolon?" Guru Paruhum berharap ada solusi tungkolon.

"Akar tahul-tahul, Gurunami. Akar tahul-tahul dilemang di atas nasi yang sedang ditanak.  Lalu digigit dengan gigi yang tungkolon. Aku sudah pernah mencobanya dulu. Sembuh, Gurunami."  

Poltak memberi saran berdasar pengalaman mendapat pengobatan gigi berlubang dari neneknya. Sudah dibuktikannya,  akar tahul-tahul, kantong semar, memang manjur sebagai obat sakit gigi.

"Nah, begitu, Polmer. Nanti, pulang sekolah, kau coba di rumah, ya.  Baik.  Tadi Pak Guru tanya apa. Oh, ya,  untuk apa kerbau punya duapuluh empat geraham?  Binsar?"

"Untuk menghancurkan rumput makanannya, Gurunami."

"Ya, betul.  Setelah dihancurkan lalu ditelan. Nanti, sambil tidur-tiduran dikeluarkan lagi dari lambung. Dikunyah-kunyah lagi sampai lumat lembut. Itu namanya memamahbiak.  Kau sudah memamahbiak, Polmer?"

"Sudah, Gurunami," jawab Polmer tanpa pikir, sebab pikirannya sudah habis tersita oleh gerahamnya yang tungkolon.  Seisi kelas tergelak riuh mendengar jawaban Polmer.

"Gurunami."  Poltak mengacungkan telunjuk, hendak bertanya. "Mengapa kerbau tak pernah sakit gigi seperti Polmer?  Padahal sama-sama takpernah sikat gigi."

Guru Paruhum melotot kepada Poltak.  Ingin dia menelan muridnya itu, agar kelas terbebas dari anak yang suka menanyakan hal-hal yang jawabannya tidak tersedia dalam buku Ilmu Hayat. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun