"Ini contoh gigi jorok," kata Guru Paruhum menegaskan.
"Aaauuh!" Â Polmer mengaduh saat Poltak menjalankan prosedur pencabutan gigi goyah. Memencet sambil mengurut gusi sampai gigi copot dari akarnya.
"Diam mulutmu, Polmer. Bau kalipun napas kau. Jangan menggek kau!" Â Poltak menegur Polmer yang dianggapnya menggek, manja, cengeng. "Nah, beres. Ini gigimu. Ambil. Kantongi. Jangan kau telan." Â Poltak menyerahkan sebuah gigi taring kepada Polmer.Â
Misi cabut gigi sukses. Â Guru Paruhum dan murid-murid kelas empat tepuk tangan untuk Poltak. Â Dokter gigi gadungan dari SD Hutabolon itu.
"Kalau obat tungkolon, apa, Poltak. Â Sakitlah ini." Â Polmer masih mengeluh juga.
"Bah, masih mengeluh juga dia. Â Poltak, kata ompungmu, apa obat tungkolon?" Guru Paruhum berharap ada solusi tungkolon.
"Akar tahul-tahul, Gurunami. Akar tahul-tahul dilemang di atas nasi yang sedang ditanak.  Lalu digigit dengan gigi yang tungkolon. Aku sudah pernah mencobanya dulu. Sembuh, Gurunami." Â
Poltak memberi saran berdasar pengalaman mendapat pengobatan gigi berlubang dari neneknya. Sudah dibuktikannya, Â akar tahul-tahul, kantong semar, memang manjur sebagai obat sakit gigi.
"Nah, begitu, Polmer. Nanti, pulang sekolah, kau coba di rumah, ya. Â Baik. Â Tadi Pak Guru tanya apa. Oh, ya, Â untuk apa kerbau punya duapuluh empat geraham? Â Binsar?"
"Untuk menghancurkan rumput makanannya, Gurunami."
"Ya, betul. Â Setelah dihancurkan lalu ditelan. Nanti, sambil tidur-tiduran dikeluarkan lagi dari lambung. Dikunyah-kunyah lagi sampai lumat lembut. Itu namanya memamahbiak. Â Kau sudah memamahbiak, Polmer?"