Bola kanon Polmer melesat kencang ke sebelah kiri gawang lawan. Â Kiper SD Sibigo melompat terbang ke sebelah kiri. Â Antisipasinya jempolan.
"Buk." Terdengar suara benturan keras. Â Bola kanon Polmer lebih cepat dari reaksi kiper lawan. Â Bola menabrak wajah kiper dengan kecepatan tinggi. Â Lalu berubah arah ke sebelah kiri tiang gawang.Â
 "Amangoi!  Gagal lagi!" Guru Polmer berteriak kecewa.  Murid-murid SD Hutabolon melepas nafas lemas.
Tapi malanglah nasib kiper SD Sibigo. Tembakan Polmer begitu keras menerpa wajahnya. Â Kepala kiper malang itu terdongak. Tubuhnya terlempar ke belakang melewati garis gawang. Lalu jatuh berdebum seperti nangka busuk. Diam tak bergerak. Â Pingsan.
Bersamaan dengan kejadian itu, Bang Jonggi meniup peluit panjang.  Tanda babak pertama pertandingan telah usai.  Para pemain kedua tim berkumpul dengan guru  pembina masing-masing. Kiper SD Sibigo terlihat dipapah teman-temannya.
"Kalian ikkan tore atau manusia?" tanya Guru Paruhum dengan nada tinggi kepada para pemainnya.
"Manusia, Gurunami!" Â jawab para pemain serentak.
"Bagus! Main bolalah seperti manusia! Jangan seperti ikkan tore. Bergerombol ke sana ke mari!" Â Guru Paruhum memberi arahan. Â
"Olo, Gurunami!"
"Kalian! Robinson, Patar, Sahat! ajadi bek iru jangan loyo! Harus garang! Pertahankan wilayahmu mati-matian!"
"Olo, Gurunami!"
"Kau, Luhut! Jangan terlalu lama menggoreng bola. Â Ini permainan tim. Â Bukan main sendiri! Lihat posisi kawan. Â Segera oper bola ke teman yang berdiri bebas! Â Ini berlaku untuk kalian semua. Â Mengerti!"
"Mengerti, Gurunami!"
"Bagus! Â Minum dulu. Â Ingat! Minum secukupnya! Jangan pula lagi main kebelet kencing."
"Sebentar, Gurunami." Â Poltak berbisik sambil menggamit Guru Paruhum.
"Bah, apa pula kau, Poltak."
"Aku rasa, Gurunami, ada yang tak beres di sini. Â Tadi sebelum main, kulihat seorang guru SD Sibigo seperti membaca mantra. Â Lalu menaburkan sesuatu di kedua tiang gawang mereka."
"Maksudmu?"
"Kurasa, itu mantra penangkal gol, Gurunami. Makanya, semua tendangan pemain kita melenceng."
"Bah, mana ada yang macam itu, Poltak." Â Guru Paruhum antara percaya dan tak percaya.
"Jujur, Gurunami.  Tadi kulihat ada bayangan seseorang mondar-mandir di bawah gawang lawan.  Sepertinya dia  menjaga gawang agar tak kebobolan."
"Bah," Â Guru Paruhum mulai termakan omongan Poltak, "lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk melunturkan mantra itu?"
"Air kencing, Gurunami. Â Kata ompungdoliku dulu, kekuatansemua mantra hilang kalau dikencingi."
"Hah! Kurangajar kau, Poltak. Â Masa gurumu kau suruh kencing di tiang gawang. Â Apa kata Pak Pendeta nanti!" Â Guru Paruhum melotot pada Poltak.
"Bukan begitu, Gurunami. Â Aku bilang, santabi, Â air kencing. Â Bukan minta Gurunami kencing di situ." Â Poltak kembut juga melihat mata melotot Guru Paruhum. Â Takut dirinya tersedot ke pelupuk mata gurunya itu.
"Oh. Ya, sudah. Â Kau lalukanlah apa yang bisa kau lakukan," kata Guru Paruhum. Â Dia mempercayakan penyelesaian masalah mantra itu kepada Poltak.
Poltak langsung berlari dan menghilang ke balik semak-semak di pinggir lapangan. Mengambil selembar daun talas liar di situ. Membentuknya jadi pincukan, lalu memerah kandung kemihnya untuk mendapatkan barang sedikit air kencing.
Dari balik semak-semak, pandangan mata Poltak terpaku pada sosok seorang guru SD Sibigo. Itu guru yang dilihatnya tadi membaca mantra di tiang gawang lawan. Â Guru yang sama kini terlihat komat-kamit lagi di tiang gawang sebelah utara, gawang SD Sibigo pada babak kedua.
Begitu guru tadi beranjak pergi, Â Poltak dengan cepat berlari ke gawang SD Sibigo, sambil mengibarkan bendera penjaga garis. Itu kamuflase untuk menghindari kecurigaan. Lalu, dengan cepat, dia mengencrotkan air kencingnya dari pincukan daun talas di kedua tiang gawang itu.
Dari kejauhan, Guru Paruhum mengamati aksi muridnya itu. Â Poltak, setelah sukses menunaikan tugasnya, mengacungkan dua jempol tangan ke arah Guru Paruhum. Gurunya itu mengangguk puas.
"Anak-anak," kata Guru Paruhum kepada para pemainnya, "mantra penangkal gol sudah dilunturkan dari gawang lawan. Â Sekarang takada lagi alasan untuk tidak gol. Â Harus gol! Semangat!"
"Harus gol! Semangat!" teriak para pemain SD Hutabolon.
Bang Jonggi meniup peluitnya. Babak kedua segera dimulai. Para pemain kedua tim berlari memasuki lapangan dan menempati posisi masing-masing. Â Tim SD Hutabolon di selatan, Tim SD Sibigo di utara.
"Para penonton, di sini Tulang Palen melaporkan jalannya pertandingan. Wasit Bang Jonggi sudah meniup peluit. Â Babak kedua sudah dimulai. Pemain Sibigo memainkan bola dari kaki ke kaki dengan cepat. Â Pemain Hutabolon berusaha merebut bola."
Itu aksi laporan pandangan mata dari Tulang Palen komentator sepakbola Hutabolon.  Nama aslinya Valentino, tapi minta agar dirinya dipanggil Tulang Palen.  Dia memerlukan sebutan tulang itu.  Itu panggilan pengakuan sebagai hula-hula.  Dengan begitu, sekurangnya dia bisa mendapat traktiran segelas teh manis di kedai Ama Rosmeri.
Tulang Palen baru pulang dari sawah, sehingga dia hanya bisa menjadi komentator di babak kedua.
"Pelanggaran, saudara-saudara! Â Luhut, kapten Hutabolon, ditebas bek Sibigo di daerah pinalti. Yak! Â Wasit menunjuk titik pinalti. Kartu kuning untuk bek tukang tebas. Kita lihat, siapa yang akan menjadi algojo. Yak! Â Polmer saudara-saudara!"Â
Polmer menarik ancang-ancang. Bersiap melepas tendangan kanonnya. Â Kiper SD Sibigo yang tadi sempat pingsan terlihat kembut. Khawatir bola kanon Polmer membentur wajahnya lalu pingsan lagi.
"Yak! Polmer berlari. Menendang bola sekuat tenaga dan ... goool, goool, goool, saudara-saudara. Â Luar biasa! Polmer melepas tendangan badai laut selatan. Kiper Sibigo tak mampu membendungnya, Â saudara-saudara!"
Skor dua-satu masih untuk keunggulan Tim SD Sibigo. Tapi berkat satu gol pecah telur tadi, kepercayaan diri para pemain Tim SD Hutabolon langsung menjulang. Pemain tampil lebih garang dan lugas. Bola mengalir lancar dari kaki ke kaki.
Tim SD Sibigo mulai terlihat keteteran digempur terus menerus. Â Guru pembinanya memerintahkan para pemain untuk bertahan total. Prinsipnya, amankan kemenangan. Strategi parkir bus lalu dimainkan secara spartan.Â
Pertahanan Tim SD Sibigo sangat rapat. Sulit sekalu ditembus para penyerang Tim SD Hutabolon. Guru Paruhum dan murid-murid SD Hutabolon  berteriak-teriak menyemangati timnya.
Wasit Bang Jonggi sudah berulang-kali melihat arlojinya. Sisa waktu tinggal lima menit. Guru Paruhum terlihat cemas. Murid-murid SD Hutabolon juga cemas. Poltak apalagi. Diam mematung dia di pinggir lapangan. Lupa tugasnya sebagai lesmen.
"Yak, Jannes membawa bola. Meliuk-liuk dia di wilayah pertahanan lawan. Mendekati kotak pinalti. Aaaah haaa ... pelanggaran lagi, saudara-saudara. Jannes terpelanting dirap-rap bek Sibigo! Â Ahhaa ... bek Sibigo kena kartu merah. Diusir ke luar lapangan, saudara-saudara!"
"Polmer! Maju kau! Ambil tendangan bebas!" Poltak meneriaki Polmer. Guru Paruhum kalah cepat menyuruh Polmer.
"Yak, tendangan bebas untuk Tim Hutabolon. Sejengkal dari garis kotak pinalti. Siapakah algojonya. Ahhaaa ... Polmer lagi, saudara-saudara. Yak, lima pemain Sibigo membentuk pagar. Apakah ini akan jadi gol? Waktu tinggal dua menit, saudara-saudara!"
Polmer mengambil ancang-ancang. Matanya menatap tajam pemain-pemain lawan yang membentuk pagar penghalang. Dia menebar ancaman, "Berani menahan tendanganku, pingsan kau!"
"Yak, Polmer melepas tendangan geledek. Membelah pagar lawan dan ... goool, goool, goool, saudara-saudara. Â Dahsyat! Tendangan belah duren, saudara-saudara. Membelah pagar penghalang dan menembus pojok kanan gawang, saudara-saudara. Ahhaaa ... wasit meniup peluit panjang, saudara-saudara. Pertandingan berakhir seri. Dua dua, saudara-saudara!"
Inilah yang sebenarnya terjadi. Pemain pagar penghalang kembut pada tendangan Polmer. Saat bola meluncur deras, mereka menghindar. Pagar pemain menguak sehingga bola melayang aman tak terjangkau kiper ke pojok kanan atas gawang lawan.
Polmer tampil sebagai pahlawan Tim SD Hutabolon. Selebrasinya sangat emosional dan fenomenal. Berdiri agak mengangkang, tangan terangkat tinggi, dua telunjuk teracung ke langit. Wajah menengadah, Â senyum di bibir, dua ingus hijau melesap masuk ke dalam dua lubang hidungnya. Heroik! Dahsyat!
Seusai pertandingan dramatis itu, Guru Paruhum mendekati Poltak. Dia masih penasaran akan satu hal.
"Poltak, seperti apa bayangan orang yang kau lihat mondar-mandir tadi di gawang Tim SD Sibigo itu."
"Anak kecil, Gurunami. Agak kurus. Tinggi. Pakai kaus merah. Celananya juga merah."
"Bodat kau, Poltak! Itu kiper SD Sibigo!" Guru Paruhum mengangkat kepalan tangan kanannya, siap menghajar jidat Poltak. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H