"Air kencing, Gurunami. Â Kata ompungdoliku dulu, kekuatansemua mantra hilang kalau dikencingi."
"Hah! Kurangajar kau, Poltak. Â Masa gurumu kau suruh kencing di tiang gawang. Â Apa kata Pak Pendeta nanti!" Â Guru Paruhum melotot pada Poltak.
"Bukan begitu, Gurunami. Â Aku bilang, santabi, Â air kencing. Â Bukan minta Gurunami kencing di situ." Â Poltak kembut juga melihat mata melotot Guru Paruhum. Â Takut dirinya tersedot ke pelupuk mata gurunya itu.
"Oh. Ya, sudah. Â Kau lalukanlah apa yang bisa kau lakukan," kata Guru Paruhum. Â Dia mempercayakan penyelesaian masalah mantra itu kepada Poltak.
Poltak langsung berlari dan menghilang ke balik semak-semak di pinggir lapangan. Mengambil selembar daun talas liar di situ. Membentuknya jadi pincukan, lalu memerah kandung kemihnya untuk mendapatkan barang sedikit air kencing.
Dari balik semak-semak, pandangan mata Poltak terpaku pada sosok seorang guru SD Sibigo. Itu guru yang dilihatnya tadi membaca mantra di tiang gawang lawan. Â Guru yang sama kini terlihat komat-kamit lagi di tiang gawang sebelah utara, gawang SD Sibigo pada babak kedua.
Begitu guru tadi beranjak pergi, Â Poltak dengan cepat berlari ke gawang SD Sibigo, sambil mengibarkan bendera penjaga garis. Itu kamuflase untuk menghindari kecurigaan. Lalu, dengan cepat, dia mengencrotkan air kencingnya dari pincukan daun talas di kedua tiang gawang itu.
Dari kejauhan, Guru Paruhum mengamati aksi muridnya itu. Â Poltak, setelah sukses menunaikan tugasnya, mengacungkan dua jempol tangan ke arah Guru Paruhum. Gurunya itu mengangguk puas.
"Anak-anak," kata Guru Paruhum kepada para pemainnya, "mantra penangkal gol sudah dilunturkan dari gawang lawan. Â Sekarang takada lagi alasan untuk tidak gol. Â Harus gol! Semangat!"
"Harus gol! Semangat!" teriak para pemain SD Hutabolon.
Bang Jonggi meniup peluitnya. Babak kedua segera dimulai. Para pemain kedua tim berlari memasuki lapangan dan menempati posisi masing-masing. Â Tim SD Hutabolon di selatan, Tim SD Sibigo di utara.