"Polmer! Maju kau! Ambil tendangan bebas!" Poltak meneriaki Polmer. Guru Paruhum kalah cepat menyuruh Polmer.
"Yak, tendangan bebas untuk Tim Hutabolon. Sejengkal dari garis kotak pinalti. Siapakah algojonya. Ahhaaa ... Polmer lagi, saudara-saudara. Yak, lima pemain Sibigo membentuk pagar. Apakah ini akan jadi gol? Waktu tinggal dua menit, saudara-saudara!"
Polmer mengambil ancang-ancang. Matanya menatap tajam pemain-pemain lawan yang membentuk pagar penghalang. Dia menebar ancaman, "Berani menahan tendanganku, pingsan kau!"
"Yak, Polmer melepas tendangan geledek. Membelah pagar lawan dan ... goool, goool, goool, saudara-saudara. Â Dahsyat! Tendangan belah duren, saudara-saudara. Membelah pagar penghalang dan menembus pojok kanan gawang, saudara-saudara. Ahhaaa ... wasit meniup peluit panjang, saudara-saudara. Pertandingan berakhir seri. Dua dua, saudara-saudara!"
Inilah yang sebenarnya terjadi. Pemain pagar penghalang kembut pada tendangan Polmer. Saat bola meluncur deras, mereka menghindar. Pagar pemain menguak sehingga bola melayang aman tak terjangkau kiper ke pojok kanan atas gawang lawan.
Polmer tampil sebagai pahlawan Tim SD Hutabolon. Selebrasinya sangat emosional dan fenomenal. Berdiri agak mengangkang, tangan terangkat tinggi, dua telunjuk teracung ke langit. Wajah menengadah, Â senyum di bibir, dua ingus hijau melesap masuk ke dalam dua lubang hidungnya. Heroik! Dahsyat!
Seusai pertandingan dramatis itu, Guru Paruhum mendekati Poltak. Dia masih penasaran akan satu hal.
"Poltak, seperti apa bayangan orang yang kau lihat mondar-mandir tadi di gawang Tim SD Sibigo itu."
"Anak kecil, Gurunami. Agak kurus. Tinggi. Pakai kaus merah. Celananya juga merah."
"Bodat kau, Poltak! Itu kiper SD Sibigo!" Guru Paruhum mengangkat kepalan tangan kanannya, siap menghajar jidat Poltak. (Bersambung)