Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Israel dan Palestina Perang, Dua Anak Indonesia Jadi Korban

22 Mei 2021   05:04 Diperbarui: 22 Mei 2021   18:16 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebakaran di Khan Yunish menyusul serangan udara Israel terhadap sasaran di Jalur Gaza Selatan, pada Rabu pagi (12/5/2021).(Foto dan kredit foto: Kompas.com/AFP PHOTO/YOUSSEF MASSOUD)

Perang terjadi antara tentara Israel dan tentara Palestina di Jalur Gaza Timur Tengah. Tapi mengapa dua anak Indonesia yang menjadi korban di rumahnya sendiri?

Dua Humor Gelap

Dalam buku Mari Ketawa Cara Rusia, Z. Dolgopolova menuturkan  sebuah humor gelap Rusia dari era Perang Dingin (1947-1991).  Suatu ketika seorang warga Amerika Serikat mengunjungi temannya, warga Rusia, di Moskow Rusia Uni Soviet.  "Di Amerika, kami bebas bicara.  Kami bebas memaki-maki Presiden Amerika.  Tidak akan ditangkap polisi." Si Amerika menyombongkan demokrasi di negaranya. 

 "Oh, di sini juga bisa," kata Si Rusia. Dia mengajak Si Amerika ke gerbang Istana Kremlin, lalu berteriak sekeras-kerasnya, "Hei! Kau! Presiden Amerika! Bajingan kau!"  Setelah itu dia berujar kepada Si Amerika, "Lihat! Adakah polisi Rusia yang menangkapku?"

Dalam era demokrasi pasca-reformasi, tepatnya Mei 2021,  Indonesia ramai oleh  sebuah humor gelap faktual. Di media massa dan media sosial,  tersiar kisah dua orang anak negeri ini mengalami nasib malang lantaran bikin tayangan TikTok dengan konten menghina Palestina yang sedang berperang dengan Israel.  

Menurut berita, seorang di antaranya, anak Lombok NTB, ditangkap dan ditahan polisi dengan sangkaan melanggar Pasal 28 ayat 2  UU ITE.  Seorang lagi, anak Bengkulu, dikeluarkan dari sekolah karena perbuatannya dinilai melampaui batas toleransi aturan sekolah.

Komparasi dan Ironi

Ada kandungan ironi pada komparasi dua humor di atas. Kendati sama-sama berisi penghinaan terhadap pihak di luar negaranya, tapi konsekuensi hukumnya beda. Di situ letak ironinya. Lepas dari kenyataan yang satu fiksi dan satunya lagi fakta.

Si Rusia dalam humor Dolgopolova  tidak ditangkap oleh polisi.  Bisa diduga alasannya. Dia meneriakkan kebencian kepada Presiden Amerika Serikat, simbol negara adidaya yang jadi musuh Uni Soviet semasa Perang Dingin.   

Si Rusia itu mungkin dinilai sedang mengekspresikan nasionalismenya. Sesuatu yang dianggap heroik, layak dan pantas. Tentu kisahnya akan beda jika dia memaki Presiden atau PM Rusia.

Sebaliknya, Si Anak Lombok ditangkap polisi dan Si Anak Bengkulu sempat juga berurusan dengan polisi, sebelum kemudian dipecat dari sekolahnya. Alasannya, kedua anak itu bertindak sangat tidak senonoh, telah menghina Palestina yang sedang berperang melawan Israel.  

Pertanyaan kepada Negara

Memang UU ITE bisa saja diberlakukan untuk kasus dua anak itu. Sebab undang-undang itu berlaku juga untuk konteks dampak luar negara. 

Namun suatu pertanyaan pantas diajukan. Mengapa dua anak itu harus dihakimi dan dihukum oleh negaranya sendiri. Sementara negara Palestina yang dihina (mungkin) tidak perduli.  Tidakkah tindakan negara itu  berlebihan (over-acting)?

Pertanyaan selanjutnya, adakah preseden hukum yang menjadi dasar bagi tindakan terhadap dua anak itu? Sejauh ini tampaknya belum ada. 

Kalau begitu, apakah kasus itu akan menjadi preseden hukum?  Jika "Ya" maka, konsekuensinya, sejak Mei 2021, setiap warga Indonesia yang menghina bangsa dan atau negara lain harus diproses secara hukum.  

Jika ada warga Indonesia yang menghina misalnya bangsa dan negara Israel, Perancis, China, dan Amerika Serikat, maka mereka ditindak dan diberi sanksi hukum. 

Jika tidak demikian, maka negara telah bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri.

Negara Bertindak Janggal

Memang ada yang terasa janggal dengan tindakan negara.  Belakangan ini negara cenderung menjeratkan kakinya ke dalam jaring masalah. 

Sebelum kasus dua anak penghina Palestina ada kasus Paul Zhang. Dia dituduh menista agama Islam. Dengan cepat negara bertindak untuk menangkap Zhang. Tapi terkendala karena Zhang, menurut pengakuannya, bukan lagi WNI.  

Tapi, seandainya pun Paul Zhang masih WNI, adakah preseden penistaan agama yang dapat dikenakan terhadapnya?  Mungkin orang akan menunjuk pada kasus Meliana (Tanjungbalai) dan Basuki Tjahaja Purnama (Jakarta).  

Baiklah, jika itu preseden hukum, lalu mengapa para penista agama Kristen dan Katolik yang telah berkoar sebelum Zhang berkoar tidak ditindak secara hukum?  Bukankah itu berarti negara telah bertindak diskriminatif terhadap warganya sendiri?

Lalu, baru-baru ini ada tokoh politik yang memberi label "Zionis Nusantara" untuk  kelompok warga yang ditengarai mendukung Israel. Implisit di balik itu, bisa ditafsir, ada label tandingan yang tak disebut yaitu "Hamas Nusantara." 

Labelisasi semacam itu mengarah pada pembelahan warga bangsa secara diametral. Zionis Nusantara berhadapan dengan Hamas Nusantara, jika benar ada. Itu bisa membahayakan persatuan bangsa. Apalagi bila kemudian ada yang mengkonotasikan Zionis Nusantaraitu  Kristen dan Hamas Nusantara itu Islam.

Pertanyaan kepada negara:  mengapa orang yang melontarkan label-label pemecah-belah bangsa, semacam Zionis Nusantara,  itu tak ditindak secara hukum?  Tidakkah itu lebih berbahaya ketimbang ulah dua anak TikTok yang  menghina Palestina?

Upaya Kapitalisasi Agama

Ada sekelompok anak bangsa kita, Indonesia, yang terbilang aneh.  Mereka lebih perduli pada apa yang terjadi di Palestina, Suriah, dan wilayah Rohingya Myanmar yang diamuk perang ketimbang pada masalah-masalah serius di negerinya sendiri.  

Rakyat yang tertindas di negara-negara itu misalnya mereka bela habis-habisan.  Sementara nasib saudara sekampungnya yang terpuruk dalam kemiskinan tak diperdulikan sedikit pun.    

Bahkan ada tokoh politik dan agama yang tega mengumpulkan donasi dari rakyat Indonesia yang ekonominya sedang hancur-lebur oleh pandemi Covid-19. Katanya dana itu membantu korban perang, antara lain  di Palestina. Wujud solidaritas, katanya.

Sekelompok anak bangsa itu membingkai (framing) konflik Israel dan Palestina sebagai konflik agama Jahudi versus Islam. Padahal Israel (Zionis), Palestina, dan negara-negara Arab sendiri memahaminya sebagai konflik batas kedaulatan teritori antara dua negara. 

Kelompok itu menutupi fakta kemajemukan agama. Israel tak melulu Jahudi, tapi juga Islam dan Kristen. Palestina juga tak melulu Islam, tapi juga warga Jahudi dan Kristen.  

Pembingkaian perang Israel dan Palestina sebagai konflik Jahudi versus Islam  hanya mungkin dimengerti sebagai upaya kapitalisasi agama. Agama dijadikan modal sosial-politik atau bahkan mungkin modal sosial-ekonomi. Demi ambisi kekuasaan dan kekayaan.

Kapitalisasi agama semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang gemar memainkan politik identitas untuk menggolkan ambisi-ambisi politiknya. Mereka tak benar-benar perduli pada Palestina.

Bahkan, bagi mereka mungkin ada baiknya jika konflik Israel versus Palestin tak berujung. Sebab jika dua negara itu berdamai, maka mereka akan kehilangan sumber modal sosial-ekonomi-politik. Sekadar gencatan senjata saja, seperti kondisi terakhir ini, sudah membuat mereka kelimpungan.

Cukuplah Dua Korban

Kelompok pembela Palestina di negeri ini mungkin puas dengan penghakiman dan penghukuman pada dua anak yang menghina Palestina. Mungkin mereka mencerca dua anak itu sebagai orang tak beragama.

Tapi mereka lupa. Anak-anak milenial kini sudah memeluk "agama" baru yaitu TikTok, YouTube, Twitter, Instagram, Facebook, dan Telegram. Bagi anak-anak itu, "agama 4.0" itu lebih menarik ketimbang agama samawi yang doktriner. Agama 4.0 adalah demokrasi dan kreasi.

Jadi sementara sekelompok anak bangsa ini sibuk mengapitalisasi isu-isu keagamaan untuk menjaring massa pendukung ambisi politiknya, kaum milenial sibuk mengkapitalusasi agama 4.0 untuk menjaring pelanggan (subscribers) dan penonton (viewers) demi popularitas (viralitas) berujung duit. 

Fokus milenial itu konten viral, bukan agama ataupun politik. Mereka mungkin bahkan apatis terhadap agama dan politik yang di tangan sejumlah tokoh justru menjadi sumber perpecahan dan keruwetan hidup.  

Ironisnya, negara lebih peduli pada teriakan protes dari para pengkapitalisasi agama samawi. Ketimbang peduli pada nasib milenial yang terjebak dalam sikap apatis dan apolitis. 

Karena itu negara lebih suka menangkap, menghakimi, dan menghukum dua anak yang menghina Palestina, ketimbang menindak para tokoh politik dan agama yang gemar memupuk petpecahan bangsa demi ambisi pribadi atau kelompoknya.

Kepada negara ingin saya katakan, cukuplah sudah. Jangan pernah lagi menangkapi, menghakimi, dan menghukumi kaum milenial penganut agama 4.0 itu. Mereka adalah masa depan bangsa dan negara yang justru harus didampingi dan dibangun karakter unggulnya. Cukuplah dua anak bangsa jadi korban.

Juga ingin saya katakan kepada negara, cukuplah sudah pemanjaan terhadap  pemecah-belah bangsa. Pemanjaan para  pengkapitalisasi agama demi kepentingan politik dan ekonominya. Sebentar lagi mereka mungkin tinggal masa lalu kelam untuk bangsa dan negara ini. Jadi, sebelum menimbulkan kerusakan lebih besar terhadap bangsa dalam sisa usianya, negara harus berani menindak tegas mereka sesuai koridor hukum.(efte)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun