Pembingkaian perang Israel dan Palestina sebagai konflik Jahudi versus Islam  hanya mungkin dimengerti sebagai upaya kapitalisasi agama. Agama dijadikan modal sosial-politik atau bahkan mungkin modal sosial-ekonomi. Demi ambisi kekuasaan dan kekayaan.
Kapitalisasi agama semacam itu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang gemar memainkan politik identitas untuk menggolkan ambisi-ambisi politiknya. Mereka tak benar-benar perduli pada Palestina.
Bahkan, bagi mereka mungkin ada baiknya jika konflik Israel versus Palestin tak berujung. Sebab jika dua negara itu berdamai, maka mereka akan kehilangan sumber modal sosial-ekonomi-politik. Sekadar gencatan senjata saja, seperti kondisi terakhir ini, sudah membuat mereka kelimpungan.
Cukuplah Dua Korban
Kelompok pembela Palestina di negeri ini mungkin puas dengan penghakiman dan penghukuman pada dua anak yang menghina Palestina. Mungkin mereka mencerca dua anak itu sebagai orang tak beragama.
Tapi mereka lupa. Anak-anak milenial kini sudah memeluk "agama" baru yaitu TikTok, YouTube, Twitter, Instagram, Facebook, dan Telegram. Bagi anak-anak itu, "agama 4.0" itu lebih menarik ketimbang agama samawi yang doktriner. Agama 4.0 adalah demokrasi dan kreasi.
Jadi sementara sekelompok anak bangsa ini sibuk mengapitalisasi isu-isu keagamaan untuk menjaring massa pendukung ambisi politiknya, kaum milenial sibuk mengkapitalusasi agama 4.0 untuk menjaring pelanggan (subscribers) dan penonton (viewers) demi popularitas (viralitas) berujung duit.Â
Fokus milenial itu konten viral, bukan agama ataupun politik. Mereka mungkin bahkan apatis terhadap agama dan politik yang di tangan sejumlah tokoh justru menjadi sumber perpecahan dan keruwetan hidup. Â
Ironisnya, negara lebih peduli pada teriakan protes dari para pengkapitalisasi agama samawi. Ketimbang peduli pada nasib milenial yang terjebak dalam sikap apatis dan apolitis.Â
Karena itu negara lebih suka menangkap, menghakimi, dan menghukum dua anak yang menghina Palestina, ketimbang menindak para tokoh politik dan agama yang gemar memupuk petpecahan bangsa demi ambisi pribadi atau kelompoknya.
Kepada negara ingin saya katakan, cukuplah sudah. Jangan pernah lagi menangkapi, menghakimi, dan menghukumi kaum milenial penganut agama 4.0 itu. Mereka adalah masa depan bangsa dan negara yang justru harus didampingi dan dibangun karakter unggulnya. Cukuplah dua anak bangsa jadi korban.