"Binsar! Lihat itu! Poltak jatuh dari pohon!" Â Bistok berteriak panik.
"Bah! Poltak! Â Kau tak mati, kan?" Â Binsar turun melorot cepat dari atas pohon dan berlari mendekati Poltak yang terduduk linglung di lantai hutan. Dalam sekejap Bistok mendekat juga.
"Jangan mati dulu kau, Poltak. Â Kita belum minum limun." Bistok berteriak, asal berteriak, panik.
"Matamulah limun. Â Sakit kali pun leherku. Tak bisa tegak lurus kepalaku." Â Poltak menyumpah lalu mengeluh. Â Kepalanya teleng ke kiri.Â
Poltak tidak waspada. Â Dia salah berpegangan pada ranting kering. Â Jatuhlah dia seperti nangka busuk dari ketinggian sekitar enam meter. Â
Beruntung pohon makadamaian yang dipanjatnya tumbuh di tanah miring. Â Karena itu dia tidak jatuh tegak lurus. Tapi menggelosor mengikuti kemiringan lantai hutan kira-kira sepuluh meter jauhnya. Â
Itu sebuah kemujuran. Â Tidak fatal akibatnya. Â Hanya cidera pada leher sehingga kepala Poltak jadi teleng.
"Cukuplah. Â Kita pulang saja sekarang!" Â usul Bistok.
"Bah, rugilah. Â Kita kumpul dulu buah-buah jatuh ini." Â
Poltak menolak, lalu memunguti buah-buah makadamia yang baru dirontokkannya. Â Dia berjuang menahan rasa sakit di leher dengan kepala teleng.
Binsar dan Bistok tak mau rugi juga. Â Mereka kembali ke pohon masing-masih dan memunguti buah-buah yang tadi berjatuhan. Â