Lumayan. Â Ditambah buah hasil perontokan, karung-karung tiga sekawan itu terisi hampir tigaperempatnya.Â
Toke buah makadamia, orang Sorpea, sudah hadir di mulut jalan masuk Kampung Panatapan.  Siap bertransaksi dengan para  pemungut buah makadamia, anak-anak Panatapan dan Robean. Â
Poltak, Â Binsar, dan Bistok juga ikut bertransaksi. Hasilnya, masing-masing mendapat tiga ringgit atau Rp 7.5. Â
Toke itu sudah menentukan harga. Sekarung penuh ukuran sedang harganya Rp 10. Â Jika terisi hanya tigaperempat karung, berarti Rp 7.5 atau tiga ringgit. Dibayarkan tunai dengan tiga lembar uang pecahan seringgit.
"Bah! Kenapa pula kepalamu teleng, amang?" Kakek Poltak bertanya heran dan cemas saat Poltak pulang ke rumah dengan kepala teleng dan uang tiga ringgit dalam genggaman.
"Jatuh dari pohon makadamia, Ompung."
"Bah. Â Ayolah kita ke rumah Ompung Toruan. Â Biar diurut lehermu itu." Â Kakek Poltak bergegas mengeluarkan sepeda dari dalam rumah.Â
"Oi, Ompung ni Poltak! Â Leher cucu kita terkilir. Jatuh dari pohon. Â Kami ke Toruan dulu." Â Kakek Poltak berteriak memberitahu nenek Poltak yang sedang memetik kopi di kebun belakang.
"Olo!" terdengar sahutan nenek Poltak dari kejauhan. Â Sementara Poltak sudah membonceng kakeknya, bersepeda ke Kampung Toruan, ke rumah neneknya dari pihak ibu, seorang dukun urut sohor.
"Bah. Â Tak apa-apa. Cuma urat lehermu yang bergeser. Â Sebentar pasti sembuh." Â Ompung Toruan memberi diagnosa. Â Dilanjutkanurut urat leher, menggunakan minyak urut dengan ramuan herbal.Â
"Poltak, kalau sudah selesai diurut, nanti temui ompung di kedai, ya?" Â Kakek Poltak beringsut keluar rumah dan pergi ke kedai di tepi jalan. Â Sebab tidak elok berada di rumah besannya yang sudah menjanda itu.