"Kita tak perlu lagilah pintar. Kita, kan, sudah naik kelas," lanjut Poltak. Â Gelak tawa semakin riuh.
Lantai hutan makadamia itu sangat teduh lagi sejuk. Tajuk pepohonan yang sangat rapat dan rimbun sempurna menghambat terpaan sinar matahari. Teduh dan sejuk itu bikin tiga sekawan semakin betah mencari buah makadamia.Â
"Sudah dapat banyak kau, Poltak?" Binsar ingin tahu.
"Baru setengah karung!" Â
"Aku juga!" timpal Bistok.
"Aku mau panjat saja. Â Mau kurontokkan buahnya dari atas." Â Poltak menaksir satu pohon makadamia yang buahnya lebat dan sudah tua.
Dalam sekejap Poltak, seperti seekor monyet, sudah berada di atas pohon makadamia itu. Dia berdiri di dahan yang berbuah lebat, sekitar enam meter di atas permukaan tanah. Â
Mengikuti cara Poltak, Binsar dan Bistok juga sudah berada di atas pohon makadamia pilihan masing-masing.
Bunyi dedaunan fan ranting bergesekan dikuti hujan buah tua berjatuhan ke lantai hutan terdengar riuh saat tiga sekawan itu menggoyang dahan-dahan makadamia. Â Dari satu dahan pindah menggoyang dahan lain. Sampai semua buah tua di pohon jatuh ke tanah.
Tiba-tiba, terdengar bunyi "kraaak ... krash krash ... buk ... kresek kresek kresek."
"Amangoi amang!" disusul teriakan kesakitan dari Poltak.