Menolak SKB yang konsisten dengan sistem dan prinsip NKRI jelas bukan praktek "otonomi seluas-luasnya." Itu namanya otonomi kebablasan, tafsir dan artikulasinya, keluar dari jalur UUD 1945.
Tapi, kan pemda berhak menetapkan kebijakan daerah untuk penyelenggaran urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya (Pasal 17 ayat 1 U23/2014).  Antara lain untuk urusan pendidikan dasar dan menengah.  Betul, tapi dengan syarat wajib  berpedoman  pada  norma, standar,  prosedur, dan  kriteria  yang  telah  ditetapkan  oleh pemerintah pusat (ayat 2).  Jika bertentangan, maka pemerintah pusat membatalkan kebijakan daerah itu (ayat 3).  Jelas, bukan? SKB 3 Menteri membatalkan semua peraturan daerah yang bertentangan dengannya.
Sebuah Kritik untuk Bupati dan Walikota
Sampai di sini, jelas kiranya predikat kemiskinan logika pada alas sikap, pikiran dan tindakan Walikota Pariaman membangkang pada SKB 3 Menteri. Dalil "mayoritas Islam", "kearifan lokal", "bertentangan tujuan pendidikan" seluruhnya adalah argumen yang sangat lemah bahkan cacat logikanya dalam kasus ini. Â Dengan kata lain alasan yang miskin logika.
Tapi pembangkangan Walikota Pariaman hanyalah satu kasus aktual saja.  Tak sedikit bupati/walikota  yang pikirannya sama dan sebangun dengan itu, dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan otonom. Jika kasus pembangkangan Walikota Pariaman diangkat di sini, tak lain karena kasus itu memenuhi syarat untuk dianalisis dan dibagikan sebagai bahan pelajaran.
Artikel ini, dengan demikian, dimaksudkan sebagai kritik untuk semua pejabat pemerintah daerah, khususnya bupati dan walikota yang kerap kebablasan menafsir "otonomi daerah". Â Apalagi jika berkenaan dengan fakta sosial agama dan suku, yang cenderung dikapitalisasi menjadi aset politik lokal.Â
Satu hal yang perlu diingat, seorang bupati ataupun walikota duduk di kursinya dengan dukungan dua kuasa. Â Pertama, legitimasi dari rakyat yang memilihnya, disebut sebagai kuasa konstituen. Â Kedua, legalisasi dari pemerintah pusat, sebagai representasi kuasa undang-undang dan peraturan perundang-undangan nasional, disebut sebagai konstitusi. Â
Logika bernegara menggariskan bahwa konstituen tunduk pada konstitusi. Â Jika kebijakan bupati/walikota keluar dari prinsip itu, maka kebijakan itu telah melenceng dari logika bernegara. Â Dengan kata lain bupati/walikota miskin logika.
Demikian Poltak Center menulis untuk Kompasiana.(*)
Rujukan:
[1] Fakta Wali Kota Pariaman Tolak SKB 3 Menteri, Beralasan Mayoritas Islam dan Tidak Takut Diberi Sanksi Kompas.com - 16/02/2021.