Walikota Pariaman membuat sendiri frasa "tujuan pendidikan menciptakan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa." Itu artinya menukil frasa dari satu pasal UU untuk membenarkan pikiran dan tindakan atau kebijakannya. Â
Bagian yang harus diutamakan dalam Pasal 3 itu adalah fungsi pendidikan yaitu "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa." Penggal kedua pasal itu -- yaitu "berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" -- adalah keluaran dari pelaksanaan fungsi pendidikan.
Jadi, kalau pemda mau bikin peraturan, karena pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah merupakan urusan pemda, maka harus dipastikan peraturan itu mendukung fungsi pendidikan. Â Bukan peraturan untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME. Â Sebab tujuan itu sudah terintegrasi dalam implementasi fungsi pendidikan, antara lain dalam kurikulum dan kegiatan ekstra-kurikuler.
Jadi, tidak ada dasar untuk menyimpulkan SKB itu bertentangan dengan tujuan pendidikan.  Apalagi ditambah alasan memisahkan kehidupan beragama dengan sekolah.  Itu tak relevan sama sekali. Sudah jelas dalam Pasal 3 UU 20/2003, agama menjadi inspirasi untuk pendidikan, bukan aturan  (aspirasi) ntuk pendidikan (di sekolah negeri).
Bupati/Walikota Jangan Otonomi Kebablasan
"Saya tidak takut diberi sanksi, karena tidak melaksanakan SKB 3 Menteri itu.  Saya siap berdiskusi.  SKB 3 Menteri ini tidak cocok diterapkan ..." Pernyataan Walikota Pariaman ini tidak saja miskin logika.  Tapi juga menggelikan.  Bagaimana bisa seorang walikota minta berdiskusi dengan tiga menteri untuk membebaskan daerahnya dari pemberlakuan SKB.  Jika itu dituruti, maka mayoritas  bupati/walikota di Indonesia punya alasan serupa untuk berdiskusi.
Lagi pula, SKB itu tidak berdampak meminggirkan "kearifan lokal" yang menjadi penciri suatu daerah. Â Ini sudah dijelaskan tadi. Â Jadi apa yang harus didiskusikan.
Sebaiknya, setelah terpilih, setiap bupati/walikota langsung mempelajari UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada butir (b) konsideran ditegaskan: "bahwa  penyelenggaraan  pemerintahan  daerah  diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan  pelayanan,  pemberdayaan,  dan  peran serta  masyarakat,  serta  peningkatan  daya  saing  daerah dengan  memperhatikan  prinsip  demokrasi,  pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Perhatikan frasa terakhir "... dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia."  Itu sifatnya mengikat, tanpa pengecualian.  SKB 3 Menteri itu, sebagai produk peraturan perundang-undangan, dibuat dan diberlakukan  dalam "sistem NKRI", berlaku nasional.  Jadi, jika suatu daerah menolak arau membangkang untuk melaksanakan SKB itu, berarti daerah itu sedang memproklamikan statusnya "bukan bagian dari sistem NKRI."  Kalau Pariaman bukan bagian integral dari sistem NKRI, lalu apa statusnya.
Oh, Kota Pariaman itu daerah otonom.  Baiklah, silahkan baca  Pasal 1 ayat 2 UU 23/2014: "Pemerintahan  Daerah  adalah  penyelenggaraan  urusan pemerintahan   oleh   pemerintah   daerah   dan   dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan  dengan  prinsip otonomi  seluas-luasnya  dalam sistem  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
Perhatikan frasa "prinsip otonomi  seluas-luasnya  dalam sistem  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia sebagaimana  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."  Benar, Kota Pariaman itu daerah otonom.  Tapi jelas juga dia ada dalam sistem dan prinsip NKRI, sesuai UUD 1945. Â