Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kemiskinan Logika di Balik Pembangkangan Wali Kota Pariaman

18 Februari 2021   11:45 Diperbarui: 18 Februari 2021   15:09 1212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Walikota Pariaman, Genius Umar berfoto bersama dengan para murid SMA di salah satu SMA yang ada di Kota Pariaman (Foto: pariamankota.go.id)

Kearifan Lokal Tidak Memerlukan Peraturan Pemerintah

"Daerah memiliki kearifan lokal sendiri." [1]  Dengan dalih itu Walikota Pariaman tidak sepakat pada pemerintah pusat yang menyamaratakan semua daerah di Indonesia dalam membuat peraturan.

Tidak jelas apa "kearifan lokal" kota Pariaman.  Tapi walikotanya menyebut soal "homogen, mayoritas Islam." Jika fakta "homogen, mayoritas Islam" dianggap sebagai kearifan lokal, maka fakta itu harus berlaku juga untuk mayoritas kabupaten/kota di Indonesia yang warganya "homogen, mayoritas Islam.".   Jika suatu ciri yang diklaim sebagai "kearifan lokal" dimiliki mayoritas daerah, maka itu bukan kearifan lokal lagi namanya, tetapi ciri nasional.  

Sekadar menyamakan persepsi, kearifan lokal (local genius, local knowledge, local wisdom) itu adalah energi sosial-budaya kreatif asli -- berupa nilai budaya, norma sosial, dan pranata sosial -- yang tumbuh dari dalam masyarakat, terinternalisasi sebagai pedoman hidup masyarakat, dan dilestarikan oleh masyarakat melalui proses pewarisan budaya antar generasi.  Ini definisi yang saya rumuskan berdasar ragam definisi yang ada.

Jika diasumsikan kearifan lokal "homogen, mayoritas Islam" itu implisit menunjuk pada "perempuan Islam wajib berjilbab" maka jelas tidak diperlukan suatu peraturan pemerintah daerah untuk memaksakannya.  Ingat, setiap peraturan bersifat memaksa.  Sebab jika "perempuan Islam wajib berjilbab" adalah kearifan lokal di kota Pariaman, sudah pasti setiap perempuan Islam di sana berjilbab.  Lalu, untuk apa harus bikin peraturan wajib jilbab.

Saya tak hendak mempertanyakan apakah norma "perempuan Islam wajib berjilbab" itu benar kearifan lokal.  Mempertanyakan soal itu bisa memicu perdebatan tanpa muara.  

Tapi jika ingin tahu seperti apa itu kearifan lokal, silahkan baca tentang hukum sasi di Maluku dan awig-awig di Bali dan Lombok.

Aturan "Tidak Mewajibkan dan Tidak Melarang Jilbab" Tak Bertentangan dengan Tujuan Pendidikan

Walikota Pariaman menganggap SKB 3 Menteri dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Menurut UU itu, katanya, tujuan pendidikan menciptakan peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu SKB tersebut harus ditolak.

"Saya siap berdiskusi. SKB 3 Menteri ini tidak cocok diterapkan, karena seolah-olah memisahkan antara kehidupan beragama dengan sekolah" [1] Itu argumen Walikota Pariaman.

Sebaiknya setiap bupati/walikota membaca UU 20/2003 dengan cermat.  Saya kutipkan Pasal 3 yang dinukil Walikota Pariaman: "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." [2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun