Tapi tentu saja tidak benar-benar semua menyulangkan.  Tak mungkinlah perut kakek-nenek buyut Poltak  muat oleh puluhan suap makanan dan puluhan teguk tuak.Â
Jika diperturutkan begitu, Â maka mereka berdua pastilah akan mati kekenyangan, sebelum semua cucu dan cicitnya sempat menyulangkan makanan. Â
Semua cucu cukup diwakili cucu sulung, Amani Poltak. Â Cucu yang lain berbaris di belakangnya.Â
Semua cicit cukup diwakili cicit sulung, Poltak. Cicit yang lain berbaris di belakangnya.
"Ayo, Poltak. Sampaikanlah sulang-sulang dari cicit kepada buyutmu," Â kakek Poltak mempersilahkan.
Poltak berdiri, melangkah ke depan kakek-nenek buyutnya. Â Tapi tubuhnya serasa melayang, langkahnya limbung. Â Kepalanya seolah hilang entah ke mana.
"Bah! Kenapa pula kau, Poltak." Â Kakeknya keheranan.
"Kenapa rupanya," sahut Poltak. Â Suaranya mengambang. Pandangannya tidak fokus. Â Matanya merah.
"Bah! Kesurupan arwah kakek kita rupanya Si Poltak itu. Â Pegang dia." Â Ompung nomor dua, Ama Riama berteriak. Semua hadirin percaya. Â Ama Riama diketahui mampu melihat mahluk halus.
Lalu sukacitalah hadirin. Mereka pikir adat manulangi itu direstui oleh kakek moyang mereka yang hadir lewat tubuh Poltak.
Poltak diam saja. Â Dia tidak merasa dirinya kesurupan roh leluhurnya. Â Dia hanya merasa kepalanya hilang, badannya melayang, penglihatannya kabur.