Setelah mendapatkan sepotong kecil leher babi bakar dari Ama Rotua, ompungnya, Poltak beranjak pergi. Memang itu saja yang diinginkannya. Bukan kaki babi bakar, upah membersihkan jeroan babi. Â Itu hak anak-anak kampung Hutabolon.
Di dapur, para perempuan sedang sibuk menyiapkan nasi, air minum, dan peralatan makan.Â
"Itu apa, namboru?" Â Poltak mengamati Riama yang menuang cairan putih susu dari jerigen kecil ke dalam ceret aluminium.Â
"Tuak na tonggi. Untuk manulangi nanti,"  jawab Riama, singkat. Â
"Tuak na tonggi?" Poltak membathin. Â "Pasti nikmat itu. Â Manis," pikirnya. Â
Tuak na tonggi, tuak yang manis. Bahan baku gula aren itu aslinya memang manis.  Dia menjadi beralkohol kalau kulit kayu raru direndam di dalamnya. Â
Poltak tak kuasa menahan hasrat. Â Ketika Riama beranjak sejenak, secepat kilat diacmengangkat ceret dan, "Glek glek glek," menenggak tuak langsung dari paruh ceret. Â
Aneh. Poltak tidak merasakan manis di lidahnya. Sebaliknya justru agak pahit. Tapi segar. Â
Ketika Riama kembali, Poltak tak bertanya soal rasa pahit tuak na tonggi itu. Â Takut ketahuan congok mencuri tuak. Bisa kena marah. Â Soalnya, itu tuak khusus untuk kakek-nenek buyutnya.
"Oi, Poltak. Â Ke sini kau. Â Kita mau manulangi sekarang," Â bapak Si Poltak memanggil dari ruang tengah. Â
Poltak bangkit melangkah. Â Dia merasa semakin aneh. Badannya terasakan enteng. Seakan bisa terbang. Tapi langkahnya limbung.