"Oi! Bangun kau, Poltak! Â Pagi buta mimpi!" Â Poltak terlonjak duduk dari baringnya. Â Dia merasa tubuhnya diguncang-guncang. Â "Mengganggu orang tidur saja kau!" Neneknya merepet.
Poltak spontan merogoh saku bajunya. Uangnya masih ada. Â Dicabut dan dihitungnya, masih genap enam rupiah. Â Utuh. Masih tetap kaya raya.Â
"Bah, mimpi rupanya aku, Ompung," gumamnya. Â Lega hatinya.
"Uang saja di kepalamu. Â Sampai mimpi buruk macam itu. Sini uangnya. Ompung simpan."Â
Neneknya tak perlu persetujuan. Â Uang enam rupiah langsung disambarnya dari genggaman Poltak. Â Lalu diselipkan ke balik kutangnya. Â Aman. Poltak pasrah.
Poltak tak tertarik lagi meneruskan tidurnya. Perlahan dia bangkit berdiri. Lalu beranjak ke dapur, berdiang di depan perapian.
Cahaya fajar semburat di timur. Â Di luar sudah terang tanah. Â Kesibukan persiapan pesta telah mulai. Â
Terdengar seekor babi mengiak panjang. Nyaring di udara pagi. Lalu tiba-tiba senyap. Seutas tali nyawa telah putus.
"Poltak, bantu namboru membawa kopi ke penjagalan," Â Namboru Riama, putri sulung kakek nomor dua, Ama Riama minta tolong, Â sambil menunjuk pada ceret berisi kopi panas. Â Riama sendiri membawa cangkir-cangkir dan talam berisi lampet, kue putu khas Batak.
Penjagalan, di kebun belakang rumah, Â sudah sibuk. Kelompok kerabat boru, pihak penerima isteri untuk buyut Poltak, sudah lengkap di sana. Â Mereka menjalankan peran adatnya sebagai parhobas, pelayan pesta adat untuk hula-hula.
Kakek Poltak nomor empat, Ama Rotua  dan nomor enam, Ama Rugun si bungsu hadir juga di situ. Keduanya ikut bantu-bantu memotong dan mencincang daging babi. Â