Saya mengajukan diri sendiri sebagai contoh kasus. Saya adalah seseorang yang pernah belajar sosiologi dan kini bergiat sebagai petani benih. Maka kompetensi saya sejatinya adalah bicara atau menulis tentang masalah-masalah sosiologis dan pertanian.
Faktanya, saya menulis juga tentang politik yang bukan kompetensi saya. Karena itu, harus dikatakan, setiap kali menulis isu politik saya sebenarnya sedang menjalankan proses “bunuh diri”.
Saya mungkin bisa menghibur diri sedikit karena orang sekaliber RG juga bisa “bunuh diri”. Dalam suatu diskusi di TV, saya ingat, dia pernah mengatakan bunuh diri (kasus di Grobogan, Jawa Tengah) terjadi karena tekanan kemiskinan. Jika pernyataan ini benar maka jumlah penduduk miskin di Indonesia tentunya adalah 0.0% karena semua orang miskin sudah bunuh diri. Faktanya jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2020 masih ada 9.78 persen.
Namun,sesat pikir orang lain tidak boleh jadi alasan untuk memaafkan sesat pikir kita sendiri. Sebab jika demikian, maka saya telah melakukan dua kali sesat pikir. Atinya, dua kali terkena gejala “matinya seorang profesor”.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H