Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Matinya Seorang Profesor

11 September 2020   11:46 Diperbarui: 11 September 2020   16:01 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi dari 123rf.com

[01]

Mengapa seorang profesor elektronika bisa meninggal tersengat listrik? Tentu saja karena sengatan listrik bisa membunuh.  

Adakah pertanyaan yang lebih dungu dari itu? Tidak ada.  Itu sudah batas terbawah dungu!  

Tapi ada satu tindakan yang lebih dungu  dan bisa membunuh tidak saja seorang profesor.  Itu terbaca pada sebait puisi yang diselipkan P.B. Medawar, Peraih Hadiah Nobel Kedokteran dan Fisiologi tahun 1960, dalam buku filsafatnya, Nasihat untuk Ilmuwan Muda (Jakarta: YOI, 1990):

Lord Norwich mencoba memperbaiki lampu listrik. Ia tersengat sampai mati—dan itu ganjaran yang tepat! Adalah kewajiban seorang hartawan, untuk menyediakan pekerjaan bagi para tukang.”

Tentu saja itu sebuah tamsil. Medawar hendak mengatakan bahwa pada saat seseorang nekad melakukan sesuatu yang bukan bidang keahliannya, pada saat itu juga dia mati bunuh diri.  

Hal itu berlaku pula untuk semua orang, termasuk para profesor,  yang melakukan sesuatu yang bukan bidang keahlian atau kompetensinya. Itu adalah  cara dungu untuk “mati” secara tidak terhormat.

[02]

Baru-baru ini viral pedebatan antara Rocky Gerung (RG), ahli filsafat (katanya) dan Henry Subiakto (HS), profesor bidang komunikasi politik (sepertinya) yang menjadi Staf Ahli Menkominfo, yang disiarkan oleh TV One.

Debat itu sejatinya terjadi antara seorang ahli filsafat, khususnya mashab rasionalisme, bernama RG dan seorang guru besar, profesor, bidang komunikasi politik bernama HS yang sedang “bunuh diri”.  

Saya katakan “bunuh diri” karena dua hal ini.

Pertama, HS mengedepankan argumen sesat “karena otoritas” (appeal to authority) saat mengatakan “Saya guru besar …”  RG yang khatam soal aneka sesat pikir langsung sinikal menyambar, “Mudah-mudahan isi kepalamu juga besar.”  

Masih ditukas HS pula  dengan “tikaman” baru pada diri sendiri, “Minimal saya profesor, Anda belum tentu.”  

HS gagal mengenal RG, lawan debatnya. RG adalah tipe orang yang mengharamkan kebenaran yang berpijak pada otoritas. Entah itu otoritas yang diklaim melekat pada gelar dan jabatan akademik atau pun pada jabatan publik.  

Itu sebabnya RG kerap mengkritik pernyataan Presiden Jokowi.  Baginya, pernyataan Jokowi tidak dengan sendirinya benar hanya karena dia mengujarkannya dari posisi sebagai Presiden RI.

RG hanya percaya pada kebenaran yang dihasilkan melalui penerapan kaidah-kaidah logika.  Ketika dia menyindir, “Mudah-mudahkan isi kepalamu juga besar”, dia sebenarnya sedang mempertanyakan kapasitas HS dalam berpikir logis.

Mengapa layak dipertanyakan? Sebab apabila seseorang mengalasi argumennya dengan ujaran “Saya guru besar …”, maka saat itu dia telah sesat pikir. Kapasitasnya dalam berpikir logis adalah nol. Dengan kata lain, “bunuh diri” di depan seorang pakar logika.

Kedua, HS pada kesempatan pertama juga telah melontarkan argumen “manusia jerami” (strawman argument) atau “orang-orangan sawah”  dengan mengungkap fakta dia pernah memanfaatkan jasa ustad terkenal tanpa membayar sepeser pun.

Jika RG tersenyum sinis mendengar ujaran HS, maka itu karena dia tahu argumen “manusia jerami” itu tergolong sesat pikir. Di situ HS telah menciptakan isu (manusia jerami) sendiri (ustad tak dibayar), mengupasnya tuntas (menghajar manusia jerami bikinan sendiri), lalu keluar dengan kesimpulan “Kamu salah dan kalah RG.”

Apanya yang salah dan kalah? RG di awal debat tidak lagi mempersoalkan jumlah dana yang dibelanjakan pemerintah untuk membayar influencer.  RG justru melontarkan isu substantif  bahwa komunikasi politik pemerintah tidak efektif maka perlu menggunakan jasa influencer.

Argumen HS tentang “ustad tidak dibayar” jelas tidak ada relevansinya dengan argumen “komunikasi politik pemerintah tidak efektif maka perlu menggunakan jasa influencer”.  

Seharusnya, sesuai bidang keahliannya,  untuk mematahkan argumen RG maka HS cukup membuktikan bahwa “komunikasi politik pemerintah efektif”. Bukan mengatakan “saya guru besar” dan “saya pakai jasa ustad tanpa bayar”. Itu namanya sesat logika atau “bunuh diri” pada tataran pemikiran.

Begitulah jika seorang praktisi (empirisis) maju berdebat dengan seorang pemikir (rasionalis).  Si Empirisis itu “bunuh diri”.  Apa jadinya bila orang “bunuh diri” berdebat dengan orang “hidup”? Seperti bunyi pantun ini: Jaka Sembung bawa potlot, gak nyambung malah nyolot.

[03]

“Matinya seorang profesor” sejatinya adalah sebuah tamsil bagi seseorang yang melakukan sesuatu di luar kapasitas atau kompetensinya.

Itu bukan gejala individual, tapi gejala sosial. Hal itu terbaca jelas dalam ragam aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita masa kini.

Tapi secara spesifik, gejala “matinya seorang profesor” akhir-akhir ini terlihat jelas dalam konteks pandemi Covid-19 di Indonesia.

Sekadar menyebut beberapa contoh saja di sini. Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengritik kebijakan pemerintah pusat terkait pengendalian pandemi Covid-19, padahal kebijakannya sendiri di Jakarta tidak selalu konsisten dengan protokol Covid-19. Sekarang, Jakarta malahan mau masuk PSBB Tahap II.

Lalu ada Menteri Pertanian Syahrul Y. Limpo yang harusnya bicara ketahanan pangan, malah bicara tentang inovasi bidang kesehatan yaitu kalung minyak eukaliptus anti-Covid-19.  Ironisnya, sejumlah staf Kementan justru terpapar Covid-19. Lalu seorang pejabat daerah Sumbar yang rajin mengenakan kalung anti-Covid-19 meninggal terpapar Covid-19.

Juga ada Hadi Pranoto, diklaim sebagai profesor bidang mikrobiologi, tidak punya publikasi hasil riset, yang mengaku telah menemukan antibodi herbal untuk Covid-19.  Juga mengaku temuannya itu telah banyak digunakan dan terbukti manjur. Ternyata tidak ada dokter, rumah sakit rujukan Covid-19, dan ahli mikrobiologi yang tahu inovasi atau penelitiannya.

Tiga kasus itu bisa mewakili gejala terlalu banyaknya “ahli Covid-19” yang tiba-tiba muncul di TV, media (off/online), Youtube, dan medsos. Ini gejala “bunuh diri” massal di aras pemikiran.  Mereka menampilkan diri sebagai orang yang sangat pakar tentang Covid-19 yang baru “kemarin sore” diketahui keberadaannya.  

[04]

Gejala “matinya seorang profesor” dapat diperiksa dengan kredibilitas tinggi pada diri sendiri. Acuannya, setiap kali seseorang bicara atau bertindak di luar kapasitas atau kompetensinya, di saat itu pula dia “mati bunuh diri”.

Saya mengajukan diri sendiri sebagai contoh kasus. Saya adalah seseorang yang pernah belajar sosiologi dan kini bergiat sebagai petani benih.  Maka kompetensi saya sejatinya adalah bicara atau menulis tentang masalah-masalah sosiologis dan pertanian.

Faktanya, saya menulis juga tentang politik yang bukan kompetensi saya. Karena itu, harus dikatakan, setiap kali menulis isu politik saya sebenarnya sedang menjalankan proses “bunuh diri”.  

Saya mungkin bisa menghibur diri sedikit karena orang sekaliber RG juga bisa “bunuh diri”. Dalam suatu diskusi di TV, saya ingat, dia pernah mengatakan bunuh diri (kasus di Grobogan, Jawa Tengah) terjadi karena tekanan kemiskinan.   Jika pernyataan ini benar maka jumlah penduduk miskin di Indonesia tentunya adalah 0.0% karena semua orang miskin sudah bunuh diri. Faktanya jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2020 masih ada  9.78 persen.

Namun,sesat pikir orang lain tidak boleh jadi alasan untuk memaafkan sesat pikir kita sendiri. Sebab jika demikian, maka saya telah melakukan dua kali sesat pikir. Atinya, dua kali terkena gejala “matinya seorang profesor”.(*)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun