Begitulah jika seorang praktisi (empirisis) maju berdebat dengan seorang pemikir (rasionalis). Si Empirisis itu “bunuh diri”. Apa jadinya bila orang “bunuh diri” berdebat dengan orang “hidup”? Seperti bunyi pantun ini: Jaka Sembung bawa potlot, gak nyambung malah nyolot.
[03]
“Matinya seorang profesor” sejatinya adalah sebuah tamsil bagi seseorang yang melakukan sesuatu di luar kapasitas atau kompetensinya.
Itu bukan gejala individual, tapi gejala sosial. Hal itu terbaca jelas dalam ragam aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita masa kini.
Tapi secara spesifik, gejala “matinya seorang profesor” akhir-akhir ini terlihat jelas dalam konteks pandemi Covid-19 di Indonesia.
Sekadar menyebut beberapa contoh saja di sini. Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengritik kebijakan pemerintah pusat terkait pengendalian pandemi Covid-19, padahal kebijakannya sendiri di Jakarta tidak selalu konsisten dengan protokol Covid-19. Sekarang, Jakarta malahan mau masuk PSBB Tahap II.
Lalu ada Menteri Pertanian Syahrul Y. Limpo yang harusnya bicara ketahanan pangan, malah bicara tentang inovasi bidang kesehatan yaitu kalung minyak eukaliptus anti-Covid-19. Ironisnya, sejumlah staf Kementan justru terpapar Covid-19. Lalu seorang pejabat daerah Sumbar yang rajin mengenakan kalung anti-Covid-19 meninggal terpapar Covid-19.
Juga ada Hadi Pranoto, diklaim sebagai profesor bidang mikrobiologi, tidak punya publikasi hasil riset, yang mengaku telah menemukan antibodi herbal untuk Covid-19. Juga mengaku temuannya itu telah banyak digunakan dan terbukti manjur. Ternyata tidak ada dokter, rumah sakit rujukan Covid-19, dan ahli mikrobiologi yang tahu inovasi atau penelitiannya.
Tiga kasus itu bisa mewakili gejala terlalu banyaknya “ahli Covid-19” yang tiba-tiba muncul di TV, media (off/online), Youtube, dan medsos. Ini gejala “bunuh diri” massal di aras pemikiran. Mereka menampilkan diri sebagai orang yang sangat pakar tentang Covid-19 yang baru “kemarin sore” diketahui keberadaannya.
[04]
Gejala “matinya seorang profesor” dapat diperiksa dengan kredibilitas tinggi pada diri sendiri. Acuannya, setiap kali seseorang bicara atau bertindak di luar kapasitas atau kompetensinya, di saat itu pula dia “mati bunuh diri”.