Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #006] Adu Kuat Melawan Kerbau

10 September 2020   06:34 Diperbarui: 10 September 2020   06:44 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: Fekux Tani; Foto: Erabaru.com

"Jangan lama-lama mikirnya! Kau punya otak tidak!" Tongam semakin tidak sabaran.

Poltak melirik sekejap pada Tongam. "Habislah kau nanti," bathinnya.

"Begini saja,"  usulnya sejurus kemudian, "kita tanding kuat-kuatan menahan serudukan anak kerbau.  Siapa kalah, dia pergi dari sini."

"Setuju!" Binsar setuju tanpa pikir.  Anak ini memang terkenal malas mikir.

"Ayo, siapa takut?" balas Tongam tidak mau kalah. Dia mulai termakan oleh keangkuhan.

Satu-satunya anak kerbau yang sepadan sebagai lawan tanding di padang penggembalaan itu adalah anak Si Tingko, kerbau Si Poltak.   Jantan, sekitar enam bulan, mau tumbuh tanduk. 

Kepala anak Si Tingko itu sedang gatal-gatalnya menyeruduk apa saja yang lunak. Pantat Poltak, adalah sasaran kesukaannya.

"Bistok!  Kaulah yang maju dari kita!"  perintah Binsar.  

Umur Binsar 7 tahun 3 bulan, lebih tua satu bulan dari Bistok.  Karena itu dia merasa pantas menyuruh Bistok. Lagi pula, postur tubuh Bistok memang sebanding dengan Tongam.  Sama-sama gempal.

"Dari kalian siapa?"

"Akulah!  Siapa lagi?" sambar Tongam pongah. "Entenglah ini," bathinnya jumawa. 

"Aturannya begini.  Kita hitung sama-sama.  Siapa yang hitungannya lebih besar, berarti dia menang," Poltak menerangkan aturan main.

Semua anak, dari dua pihak, setuju.  

Poltak lalu menuntun anak Si Tingko ke arena tanding. Bertujuh mereka, anak-anak Panatapan dan Toruan membentuk lingkaran mengelilingi anak kerbau itu.

"Tongam. Kau yang menantang tadi. Kaulah duluan maju!" kata Binsar.

Tongam maju dengan pongahnya.  Dia merangkul kuat-kuat kepala anak Si Tingko.  

"Siap!"  Tongam memberi aba-aba.

"Satu, dua, tiga, ...,"  keenam anak lainnya mulai menghitung sama-sama.

Merasa mendapat sasaran empuk, anak Sitingko langsung menyeruduk Tongam. 

Tongam menahan kepala anak kerbau itu sekuat tenaga. Wajahnya mulai memerah.  Tanda dia mengerahkan tenaga habis-habisan.

"Duapuluh satu, duapuluh dua, duapuluh tiga ..."

Wajah Tongam merah total seperti bara api. Nafasnya mulai tersengal.  Jika kulit mukanya terbuat dari karet balon, mungkin sudah meledak.

"Tigapuluh satu, tigapuluh dua, tigapuluh dua ...." 

Srat, srot, srat, srot.   Ingus Tongam mulai hilir-mudik dengan dahsyatnya dari dan ke lubang hidungnya.

Dia mulai kehilangan konsentrasi.  Serudukan anak Si Tingko semakin liar. Kuda-kuda kaki Si Tongam mulai goyah.  Kakinya mulai bergeser mundur akibat dorongan anak kerbau itu.

"Tigapuluh lima, tigapuluh enam, tiga .."

Tongam secara refleks melap ingusnya dengan punggung lengan kanan. Itu kesalahan fatal. Cengkeramannya pada kepala anak Si Tingko mengendur.  

Dalam sedetik, anak kerbau itu menanduk sekeras-kerasnya. Tongam langsung melayang ke udara. Lalu jatuh berdebum.  Terlentang di tanah.  Tepat pada hitungan ke tigapuluh tujuh.

"Maju kau, Bistok!" Binsar memberi komando.

Bistok maju ke tengah arena.  Mulai memeluk kuat-kuat kepala anak Si Tingko. Anak kerbau ini mulai sombong karena kesuksesannya menaklukkan Tongam.

"Siap!"  Bistok meneriakkan aba-aba.

"Satu, dua, tiga, ..."  Bistok dan anak kerbau itu mulai adu kuat.    

"Duapuluh satu, duapuluh dua, duapuluh tiga ..."  Anak Si Tingko menyeruduk liar.  

Bistok bergeming. Kedua telapak kakinya yang lebar seperti tampah itu menempel mantap di tanah berumput.  Kedua telapak kakinya seolah dilengkapi selaput perekat.  

"Tigapuluh lima, tigapuluh enam, tiga ..."

Bistok tetap bergeming.  Anak Si Tingko mulai terlihat kepayahan. Sentakan kepalanya tidak seliar sebelumnya.  Mungkin karena tenaganya juga sudah banyak terkuras waktu melawan Tongam.

Dilihat dari teori ekonomi tenaga, strategi Binsar untuk mempersilahkan Tongam lebih dulu maju tanding sangat tepat. Bagaimanapun, melawan anak kerbau yang masih segar selalu lebih sulit ketimbang melawan anak kerbau yang sudah mulai lelah.

Wajah Bistok mulai terlihat parah. Memerah seperti pucuk ilalang terbakar.

Tapi ekspresi wajahnyalah yang bikin ketar-ketir. Ya, ekspresinya itu seolah sedang  menahan suatu letusan berbahaya.

"... puluh tujuh, tiga puluh ... "   

Duuut!  Benar saja!  Dentuman dahsyat mendadak letus dari arah  pantat Bistok.  

Sedemikian dahsyatnya bunyi kentut Bistok, sehingga anak Si Tingko terkejut dan melarikan diri. Tepat pada hitungan ketigapuluh delapan.

Begitulah.  Si Tongam kalah oleh ingusnya yang dahsyat.  Si Bistok menang oleh kentutnya yang dahsyat pula.

Menahan rasa malu, Tongam dan kawan-kawannya menghalau kerbau mereka ke padang pengembalaan lain.

"Bah, sakti kalilah kentut kau, Bistok." Binsar bergurau. Bertiga mereka terbahak lepas.

Bukan.  Bukan menang karena kentut.   Tapi karena tuah telapak kaki Bistok yang selebar tampah itu. Telapak kaki yang membuatnya seolah menempel di tanah.

Tuhan memang bukan tanpa maksud mengaruniakan suatu kelebihan pada tubuh seseorang.  Kelak akan terbukti pula, telapak kaki tampah Si Bistok itu adalah jaminan kesuksesan.

"Ayo, kita berburu puyuh." Binsar mengusul. 

Poltak dan Bistok saling-pandang sarat kode. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun