Bistok bergeming. Kedua telapak kakinya yang lebar seperti tampah itu menempel mantap di tanah berumput. Â Kedua telapak kakinya seolah dilengkapi selaput perekat. Â
"Tigapuluh lima, tigapuluh enam, tiga ..."
Bistok tetap bergeming. Â Anak Si Tingko mulai terlihat kepayahan. Sentakan kepalanya tidak seliar sebelumnya. Â Mungkin karena tenaganya juga sudah banyak terkuras waktu melawan Tongam.
Dilihat dari teori ekonomi tenaga, strategi Binsar untuk mempersilahkan Tongam lebih dulu maju tanding sangat tepat. Bagaimanapun, melawan anak kerbau yang masih segar selalu lebih sulit ketimbang melawan anak kerbau yang sudah mulai lelah.
Wajah Bistok mulai terlihat parah. Memerah seperti pucuk ilalang terbakar.
Tapi ekspresi wajahnyalah yang bikin ketar-ketir. Ya, ekspresinya itu seolah sedang  menahan suatu letusan berbahaya.
"... puluh tujuh, tiga puluh ... " Â Â
Duuut!  Benar saja!  Dentuman dahsyat mendadak letus dari arah  pantat Bistok. Â
Sedemikian dahsyatnya bunyi kentut Bistok, sehingga anak Si Tingko terkejut dan melarikan diri. Tepat pada hitungan ketigapuluh delapan.
Begitulah. Â Si Tongam kalah oleh ingusnya yang dahsyat. Â Si Bistok menang oleh kentutnya yang dahsyat pula.
Menahan rasa malu, Tongam dan kawan-kawannya menghalau kerbau mereka ke padang pengembalaan lain.