"Jangan lama-lama mikirnya! Kau punya otak tidak!" Tongam semakin tidak sabaran.
Poltak melirik sekejap pada Tongam. "Habislah kau nanti," bathinnya.
"Begini saja," Â usulnya sejurus kemudian, "kita tanding kuat-kuatan menahan serudukan anak kerbau. Â Siapa kalah, dia pergi dari sini."
"Setuju!" Binsar setuju tanpa pikir. Â Anak ini memang terkenal malas mikir.
"Ayo, siapa takut?" balas Tongam tidak mau kalah. Dia mulai termakan oleh keangkuhan.
Satu-satunya anak kerbau yang sepadan sebagai lawan tanding di padang penggembalaan itu adalah anak Si Tingko, kerbau Si Poltak. Â Jantan, sekitar enam bulan, mau tumbuh tanduk.Â
Kepala anak Si Tingko itu sedang gatal-gatalnya menyeruduk apa saja yang lunak. Pantat Poltak, adalah sasaran kesukaannya.
"Bistok! Â Kaulah yang maju dari kita!" Â perintah Binsar. Â
Umur Binsar 7 tahun 3 bulan, lebih tua satu bulan dari Bistok. Â Karena itu dia merasa pantas menyuruh Bistok. Lagi pula, postur tubuh Bistok memang sebanding dengan Tongam. Â Sama-sama gempal.
"Dari kalian siapa?"
"Akulah! Â Siapa lagi?" sambar Tongam pongah. "Entenglah ini," bathinnya jumawa.Â