Tapi kubiarkan mereka membangun fanatisme sosial seperti itu. Dengan begitu semakin banyak warga yang terpapar fanatisme lalu abai protokol pencegahan Covid-19. Â
Orang-orang fanatik itu ngotot tetap kumpul-kumpul ibadah atau kegiatan sosial keagamaan lainnya. Â Tak peduli di dalam tubuh salah seorang dari mereka, bahkan mungkin tokohnya, aku sebenarnya sudah bermarkas. Siap menyerang siapa saja orang di dekatnya.
Begitulah Pak Jokowi, egoisme sosial dan fanatisme sosial itu semacam virus sosial juga. Dua jenis virus ini, secara efisien dan efektif, telah membantuku menyakiti dan membunuh banyak warga Indonesia. Â Ya, wajar sih sesama virus bersinergi.
Jadi, selama virus egoisme sosial dan fanatisme sosial itu masih menginfeksi banyak warga Indonesia, aku nyaman-nyaman saja berkarir di sini. Â Kinerjaku tetap dan akan semakin moncer. Maka jayalah egoisme dan fanatisme.
***
Tapi ada satu soal yang membuatku mulai merasa terancam akhir-akhir ini. Itulah seruan Pak Jokowi untuk "hidup berdamai  dengan Covid-19 sampai vaksinnya  ditemukan". Â
Terus terang, aku tidak suka damai. Maka ketika seorang mantan wapres nyeletuk "(kalau) virusnya enggak (mau), gimana", aku merasa dapat angin. Â Heran, biasanya hanya virus yang paham jalan pikiran virus. Â
Namun kemudian aku tahu ujaran mantan wapres itu cuma permainan kata-kata. Supaya terkesan eksis. Maka aku kembali was-was.
Hal yang paling aku takutkan adalah kalau-kalau Pak Jokowi akan menerapkan gaya kepemimpinan Jawa, "perintah halus kepemimpinan otoriter", khusus untuk menegakkan aturan dan disiplin sosial dalam "masa berdamai dengan Covid-19."
Gaya kepemimpinan masa "normal baru" seperti itu sangat membahayakan eksistensiku sebagai penjahat nomor wahid di dunia renik masa kini. Â
Aku sangat paham, gaya kepemimpinan macam itu akan memaksa warga secara halus, tapi tak terbantahkan, untuk mengikuti segala aturan secara ketat untuk mencegah persebaran Covid-19. Â