Tapi beruntunglah aku. Â Gotongroyong di Indonesia ternyata tinggal omong kosong. Tidak ada itu gotongroyong. Karena itu jelas tak ada pula solidaritas sosial. Â Itu membuatku bisa merajalela di negeri ini.
Pak Jokowi bisa tanyakan kepada para sosiolog dan antropolog mengapa solidaritas sosial begitu rendahnya di negeri ini. Â Mereka tentu lebih cerdas dibanding aku.
Tapi dari pengalamanku mengacau-balaukan negeri ini sejak Februari 2020 lalu, aku mencatat dua hal yang mungkin jadi penyebabnya. Â
Pertama adalah egoisme sosial yang teramat kentara di negeri ini. Â Orang kaya memborong stok masker, sanitizer, dan vitamin C untuk dirinya sendiri. Pedagang menumpuk stok masker dan sanitizer, spekulasi, demi perolehan harga jual selangit.
Begitu pula sebagian kantor dan pabrik tetap dioperasikan pada waktu yang seharusnya sudah dihentikan, sesuai aturan PSBB, arena pengusaha ogah kehilangan uang. Â
Lalu warga masih tetap kumpul-kumpul untuk urusan kelompok masing-masing. Tanpa memperdulikan jarak sosial dan fisik. Â Jangan kata pakai masker dan rajin cuci tangan.
Terakhir ada arus "mudik liar", maksa, mbalelo pada pemerintah yang sudah tegas melarang mudik. Â Bahkan pintu-pintu kota sudah dijaga ketat. Â Tetap saja banyak lolos.
Egoisme sosial itu, sikap mengutamakan kepentingan diri dan kelompok, menjadi kuda tunggang untukku menyakiti banyak warga dan syukur-syukur bisa membunuh mereka.Â
Interaksi sosial mereka, keabaian mereka pada protokol pencegagan Covid-19, adalah jalur perluasan seranganku. Â
Lalu, kedua, fanatisme sosial yang membutakan hati dan menumpulkan otak. Ini yang paling aku suka. Karena eksistensiku diremehkan dengan ujaran semisal "Jangan takut pada Covid-19 tapi takutlah pada Tuhan Allahmu!" Atau "Aku sudah dibisiki Tuhan untuk menghentikan Covid-19!" Â
Sejujurnya Pak Jokowi, andaikan aku mencium para pengujar itu tepat di bibir atau hidungnya maka 14 hari kemudian mereka sudah pasti terkapar di ruang isolasi Covid-19. Â