Berkat mereka, aku kini bisa berada di setiap pelosok di seluruh penjuru negeri ini. Â Ada di kota dan desa, di gunung dan di pantai. Â
Aku kini ada di setiap relung terkecil sarana publik dan privat. Â Di terminal, bandara, pelabuhan, stasiun, dan halte. Juga ada di pesawat, kapal laut, kereta api, MRT, LRT, bus umum, dan angkot. Serta di pasar, mal, taman kota, rumah sakit, hotel, dan kantor-kantor. Â
Dari tempat-tempat itulah, lewat warga abai dan mbalelo yang dikompori para penunggang itu, aku siap 24 jam sehari menyakiti dan membunuh warga Indonesia. Â
Cara kerjaku terkenal elegan. Sebelum menyakiti atau pada akhirnya membunuhnya, aku selalu mencium korbanku di bibirnya, hidungnya, atau matanya terlebih dahulu. Sebagai penjahat sadis, kurang romantis apa aku ini sebenarnya.
***
Aku yakin, dalam kelelahan lahir dan bathin, Pak Jokowi bertanya heran, "Mengapa warga terpapar Covid-19 masih meningkat di Indonesia, padahal upaya penanggulangannya sudah pol-polan. Langkah PSBB sudah diambil. Langkah bergiat di rumah saja sudah dilakukan. Â Mudik sudah dilarang. Protokol jarak sosial dan fisik sudah jalankan. Â Masker dan cuci tangan sudah dibiasakan. Â Lalu di mana letak salahnya?"
Kalau pertanyaan itu diajukan padaku, aku tidak akan jawab. Itu rahasia perusahaanku, Pak.
Tapi kalau Pak Jokowi bertanya faktor apa yang membuatku betah dan produktif di negeri ini, akan ku jawab dengan senang hati.
Kemiskinan sosial-budaya di negeri ini, itulah faktor penahanku di sini. Â Indikasinya adalah kadar solidaritas sosial yang rendah. Â
Pak Jokowi perlu tahu, Â setiap warga atau kelompok warga di negeri ini ogah bertanggungjawab pada warga atau kelompok warga lain. Â Prinsip yang berlaku: "yang utama kepentinganku atau kelompokku terpenuhi, persetan dengan orang lain." Â
Sebelum ke Indonesia, seseorang sempat membisikiku, bahwa bangsa Indonesia itu berjiwa  gotongroyong. Ini sempat menciutkan nyaliku.  Sangat sulit menyakiti apalagi membunuh warga yang dijiwai nilai gotongroyong. Â