Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Arief Budiman, Guru dan Rekan Sejati Itu Telah Pergi

24 April 2020   09:30 Diperbarui: 25 April 2020   16:34 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arief Budiman dengan tawa khasnya (Foto: thejakartapost.com)

 


Arief Budiman, dialah alasan tunggal bagiku. Sehingga mau menerima tawaran Prof. Sajogyo (Almarhum.), penemu Garis Kemiskinan Indonesia, "Ikutlah kuliah di Program S2 Studi Pembangunan UKSW Salatiga."  

Saya mendaftarkan diri, ujian dan diterima menjadi salah seorang dari 14 orang mahasiwa Angkatan I Program S2 Studi Pembangunan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Waktu itu tahun 1987.

Pada hari pertama daftar ulang mahasiswa, Arief Budiman menjadi orang pertama yang saya cari untuk berkenalan. Waktu itu dia menjabat Sekretaris Program S2 Studi Pembangunan UKSW.  Ketua Program-nya Prof. Soetarno, seorang teolog.

Saya mengetuk pintu ruangannya di lantai 4 gedung baru UKSW.  Dia langsung membukakan pintu untukku.  

Peristiwa itu memberi kesan khusus pada diriku.  

Meja kerja Pak Arief, panggilan akrabnya, berada persis di sebelah kiri pintu.  Dia duduk membelakangi dinding, menghadap jendela kaca ke arah Gunung Merbabu di selatan, memberikan pemandangan Gedung Rektorat UKSW.

Posisi duduk seperti itu memungkinkan Pak Arief untuk langsung membukakan pintu jika ada tamu yang mengetuk minta masuk.    

Posisi duduk itu mencerminkan kepribadiannya yang terbuka dan hangat pada semua orang.  

Beda benar dengan sejumlah Guru Besar yang saya kenal, yang mejanya berada di sisi lawan pintu, sehingga tamu langsung kerdil di bahwah tatapannya saat masuk ruangan.

Terus terang saya sampaikan padanya bahwa saya pengagumnya, karena pemikiran-pemikirannya yang kritis, dan bahwa dialah alasan utama saya bersedia menjadi mahasiswa Program S2 Studi Pembangunan UKSW.

Pak Arief tertawa hangat, tanpa kesan tersanjung.  Lalu bilang, "Kehadiran Pak Felix di sini adalah bukti pengakuan Prof. Sajogyo terhadap program studi ini."   

Giliran saya yang tertawa, tanpa bisa menutupi rasa tersanjung.

***
Program S2 Studi Pembangunan UKSW itu multidisiplin.  Mengkaji proses-proses pembangunan secara kritis dari bebagai sudut pandang ragam disiplin ilmu.  

Pak Arief, Doktor Sosiologi jebolan Universitas Harvard,  seperti sudah bisa diduga, mengampu mata kuliah Teori-Teori Pembangunan.  

Perkuliahan Pak Arief itulah yang membuka pemahaman saya tentang teori-teori besar modernisasi, dependensi, dan sistem dunia.  Itu memperkaya saya yang datang dari disiplin Sosiologi Pedesaan yang bermain di aras teori-teori kecil.

Kuliah Pak Arief membuat saya paham bahwa masalah-masalah mikro di pedesaan adalah masalah-masalah struktural yang berkait dengan masalah-masalah makro.   Keduanya bukan soal yang terpisahkan.

Pada akhirnya,  saya harus mengakui, Pak Arief adalah salah seorang Guru terbaik untukku. Dalam arti memberikan sumbangan signifikan pada perkembangan pemikiran keilmuanku.  

Sumbangan tidak terbatas dari kelas perkuliahan.  Tapi juga diskusi di luar kelas.   Semisal mengundang Herberth Feith, Indonesianis dari Monash University, untuk berbagi pengetahuan dan gagasan.   Atau mengajak nonton pameran lukisan Semsar Siahaan (Alm.)  sekaligus berdiskusi dengannya.  Juga menikmati pembacaan puisi oleh Tukul, buruh seniman yang fenomenal itu.

Sumbangan siginifikan itu tercermin pada terbentuknya pemahamanku tentang kaitan makro-mikro.  

Intinya, jika ingin memahami dampak kebijakan makro pembangunan, pelajarilah masalah empirik mikro.   Sebaliknya jika ingin memahami masalah-masalah empirik mikro, pelajarilah kebijakan makro pembangunan.

Kebajikan Sang Guru adalah menyediakan pundaknya bagi Sang Murid sebagai pijakan untuk dapat melihat lebih luas dan jauh ke depan.   

Di sini, Sang Guru itu adalah Pak Arief dan Sang Murid itu adalah saya.

***
Bukan Arief Budiman jika tak punya jiwa sosial. Dia sangat perhatian pada peri hidup para mahasiswanya.  

Di mana tinggal, bagaimana cara ke kampus, bagaimana kelengkapan studi, bagaimana makanan sehari-hari? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan penuh perhatian darinya.

Gara-gara pertanyaan-pertanyaan semacam itu, akhirnya terbongkarlah rahasiaku sebagai "mahasiswa miskin" yang direkomendasikan "Bapak Garis Kemiskinan Indonesia".  

Saya hidup dan mengikuti perkuliahan di Salatiga hanya dengan dukungan beasiswa pas-pasan yang diambil dari dana riset peranan wanita yang dibiayai Ford Foundation. Ikatan dana ini telah "memaksa" saya untuk menulis tesis tentang peranan wanita pedesaan.    

Topik tesis itu sebenarnya di luar minat akademik saya.   Hanya karena Pak Arief sudi menjadi salah seorang pembimbing tesis, dan terus memberi dorongan, maka saya bersemangat menyelesaikannya.  

Pak Arief itu tak pernah habis energi untuk mendorong mahasiswanya.  Tidak hanya dalam bentuk kata-kata tapi juga perbuatan nyata.

Itulah yang saya alami.   Karena tahu saya "miskin", untuk mengurangi beban ongkos angkot ke kampus, Pak Arief telah berbaik hati meminjamkan salah satu sepedanya untuk saya pakai selama kuliah di Salatiga. 

Waktu itu saya tinggal di Blotongan, agak jauh dari UKSW.  Ongkos angkot bolak-balik UKSW-Blotongan lumayan jadi beban juga untuk seorang mahasiswa "miskin".

Bahkan Pak Arief juga hendak meminjamkan salah satu mesin ketik tuanya untuk saya gunakan.  Tapi saya tolak dengan halus karena tidak kuat menerima terlalu banyak kebaikan dari Sang Guru ini.

Sepeda pinjaman dari Pak Arief itulah teman setia saya berkeliaran ke segala penjuru dan sudut kota Salatiga selama dua tahun masa kuliah.  Sejak semester pertama sampai lulus ujian tesis.

***
Tahun 1989 setelah lulus dari Program S2 Studi Pembangunan UKSW, Pak Sajogyo mengajak saya bergabung dalam Proyek Penelitian Indikator Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), bekerjasama dengan Balitbangkesos, Depsos RI.

Sebuah kejutan yang menakjubkan, Pak Sajogyo ternyata mengajak Pak Arief juga untuk terlibat dalam Tim Peneliti.  Itulah proses penyempurnaan peran Pak Arief dalam perkembangan keilmuanku, dari "Guru" menjadi "Rekan Peneliti".  

Diskusi-diskusi dalam Tim Peneliti, selain menjadi ajang alih ilmu, membuat saya menjadi lebih kenal pribadi Pak Arief.  Dia seorang yang bersikap egalitarian. Tidak merasa lebih tinggi dari para pemula.  Setiap orang  adalah rekan setara.

Rekan-rekan di Balitbangkesos sebenarnya sempat rada kebat-kebit juga dengan kehadiran Pak Arief dalam Tim Peneliti.   Sebab waktu itu Presiden Soeharto masih berkuasa dan Pak Arief adalah seorang pengritik keras Pemerintahan Soeharto.

"Kita kan pemerintah.  Masa sih pengeritik keras pemerintah menjadi bagian Tim Peneliti ini?" Seorang rekan peneliti Balitbangkesos bertanya padaku dalam nada protes.

"Pak Sajogyo itu juga pengeritik keras pemerintah, lho.  Cuma caranya nJawani.   Jadi apa masalahnya dengan Pak Arief?" sanggahku. Rekan peneliti itu terdiam.

Ketika hasil penelitian itu diseminarkan di Depsos, saya menangkap kesan bahwa para peserta lebih tertarik pada kehadiran Pak Arief ketimbang materi presentasi.    

Bukan karena tampilan khasnya dengan T-Shirt dan sepatu sandal, melainkan karena dia dianggap berseberangan dengan pemerintah.   

Agaknya rekan-rekan dari Depsos berpikir, "Matilah kita.  Ada Arief Budiman.   Kita akan dikritiknya habis-habisan."

Maklum, Pak Arief dalam ingatan pemerintah waktu itu adalah demonstran, aktivis anti-korupsi, penggerak Golongan Putih (Golput), dan penentang TMII.  Pokoknya penentang Soeharto.

Tapi rekan-rekan Depsos kecele, sekaligus lega. Pak Arief sama sekali tidak mengritik pemerintah.  (Tentu saja dia tidak bisa bicara di luar hasil penelitian yang diarahkan Pak Sajogyo). 

Dia sebaliknya mengapresiasi program Depsos menangani PMKS.  Lalu menekankan bahwa indikator yang tepat sangat diperlukan agar program tidak salah sasaran, tetapi benar-benar menyasar orang yang tepat, dan bisa mengentaskan mereka dari masalah kemiskinan.

Di ujung seminar, rekan peneliti Depsos yang pernah protes berbisik pada saya, "Ternyata Pak Arief itu tidak segalak yang dipikirkan pemerintah."    

Ya, waktu itu adalah masa "pemerintahan anti-kritik sosial".   Kritik sosial berarti kiri, tetangga dekat paham sosialis yang terlarang di negeri ini.    

***
Satu hal yang jarang disadari orang, terutama pemerintah,  Pak Arief itu menurut saya bukan seorang sosialis melainkan seorang nasionalis sejati.   

Kritik keras seorang Arief Budiman  kepada pemerintah, yang berlandaskan teori-teori dependensi dan sistem dunia, adalah manifestasi nasionalismenya itu.    

Pak Arief memang terkenal sebagai penolak sistem Ekonomi Pancasila yang digagas Prof. Mubyarto (Almarhum).  Tapi itu tak berarti dia anti-Pancasila. Dia tidak setuju karena melihat konsep Ekonomi Pancasila itu pada dasarnya adalah "ekonomi pasar yang dikontrol negara".

Pak Arief tidak ingin melihat bangsa ini menjadi sapi perah kapitalisme dan kelompok kapitalis.   Dia mencita-citakan bangsa Indonesia yang berdaulat secara ekonomi, berdasarkan sendi-sendi sosial bangsa Indonesia sendiri.

Dihitung sejak pertengahan 1980-an, saat Pak Arief gencar melontarkan kritiknya, Indonesia ternyata butuh menunggu sekitar 35 tahun sampai seorang Presiden RI, Pak Jokowi mencanangkan (lagi) cita-cita "kedaulatan ekonomi nasional".    

Ketika bangsa ini, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi tertatih-tatih menuju "kedaulatan ekonomi nasional,  Pak Arief ternyata didera Parkinson dan berbagai komplikasinya, sehingga kritiknya kepada pemerintah juga jarang terdengar.

Tapi mungkin Pak Arief sebenarnya sudah memberikan lebih dari cukup sumbangan pemikiran kritis untuk mendukung pembangunan bangsa dan negara Indonesia.   

Sebaliknya pemerintahlah yang kurang dari cukup untuk mendengarkan kritik-kritiknya yang tajam.

Kemarin, Kamis 23 April 2020, pada usia ke 79 tahun, Arief Budiman, pribadi yang berpikir kritis hanya dan hanya demi kemajuan bangsanya, telah dipanggil Sang Pencipta ke pangkuanNya.   

Lelaki nasionalis sejati kelahiran 3 Januari 1941 itu telah pergi untuk selamanya meninggalkan isterinya, Leila Ch. Budiman, dua anak, cucu-cucunya, dan kita semua.

DariNya semua datang,  kepadaNya semua pulang.  

Beristirahatlah dalam damai, Pak Arief, bagiku engkau adalah Guru dan Rekan sejati.(*)
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun