Basuki Hadimuljono sejatinya adalah seorang penata bata, bukan penata kata. Penata bata maksudnya pekerja bangunan. Memang itulah pekerjaannya. Â Selaku Menteri PUPR dia bekerja membangun infrastruktur perekonomian, sarana umum, dan perumahan rakyat. Â
Basuki berbicara dengan tangannya, bukan dengan mulutnya. Â Orang melihat apa yang dibangunnya, bukan apa yang digaungkannya. Dia tidak menjanjikan utopia, tapi mewujudkan mimpi rakyat. Â
Dikenal sebagai pribadi yang rendah hati, suka bergurau, Basuki bukan tipe pejabat yang gemar menggebuk orang menggunakan kata-kata. Â Dia lebih suka menggebuk drum saat grupnya, Elek Yo Band, Â didaulat manggung.
Basuki juga pejabat yang steril dari hingar-bingar debat dan polemik politik. Bukan karena tidak paham politik, tapi karena sebagai birokrat karir, dia lebih cinta bekerja ketimbang berpolitik. Dia suka menyebut dirinya sebagai " menteri yang paling gak ngerti politik".
Tak dinyana justru Basuki yang tak pintar menata kata dan "gak ngerti politik" inilah yang ternyata mampu menekuk kemampuan Anies Baswedan  menata kata atau menyusun kilah dan dalil pembenaran diri. Cukup dengan kalimat lugas, sahaja, dan objektif. Anies langsung "terpuruk di pojok ring". Kemampuan tata katanya langsung sirna.
Saya akan ceritakan rangkaian kejadiannya secara singkat. Sebelum kemudian mencoba menafsir makna politisnya.
***
1 Januari 2020. Banjir melanda 60-an titik lokasi di Jakarta.  Akibat curah hujan lokal yang ekstrim, di atas 150 mm.  Kawasan Halim mencatatkan curah hujan tertinggi sepanjang sejarah Jakarta, 377 mm.
Selepas memantau kondisi banjir di sepanjang Ciliwung bersama Anies, Basuki menyampaikan fakta objektif di lapangan. Katanya, dari 33 km ruas Ciliwung di Jakarta, 16 km sudah dinormalisasi. Â Banjir tidak terjadi di ruas 16 km itu. Tetapi di ruas 17 km yang belum dinormalisasi.
Berdasar fakta obyektif itu, Basuki minta pada Anies untuk melanjutkan pembebasan tanah sepanjang bantaran 17 km Ciliwung. Â Agar Kementerian PUPR dapat melanjutkan program normalisasi sungai. Â Maksudnya, pelebaran dan pendalaman sungai serta penurapan (betonisasi) bantarannya.
Menanggapi Basuki, Anies berargumen bahwa selama curah hujan di hulu tidak dikendalikan, maka upaya apapun yang dilakukan di hilir, Jakarta, tidak akan bisa mencegah banjir. Â Lalu Anies menunjuk pada proyek bendungan retensi Ciawi dan Sukamahi, Bogor yang belum rampung.