Berada di bawah Karesidenan Tapanuli dan dikepalai seorang Asisten Residen, afdeling ini mencakup onder-afdeling Silindung, Humbang, Toba, Samosir dan Sidikalang.Â
Afdeling Bataklanden inilah cikal-bakal Kabupaten Tanah Batak (1945), kemudian Tapanuli Utara (1950), pada masa Indonesia merdeka. Ibu kotanya tetap Tarutung.Â
Dalam perkembangannya Tapanuli Utara kemudian mengalami pemekaran dengan terbentuknya Kabupaten Dairi (1956), Toba Samosir (1998), Samosir (2003), dan Humbang Hasundutan (2003).
Kota Tarutung sendiri, selain ibu kota Tapanuli Utara adalah ibu kota Kecamatan Tarutung. Pertumbuhan dan perkembangan sosial, ekonomi, politik dan budaya kota ini digagas dan dirintis di kota itu, untuk kemudian meluas ke delapan penjuru kota.Â
Karena proses itu berawal dari fungsi sosial, ekonomi, politik dan budaya sepohon durian, maka bisalah dikatakan kota Tarutung itu "tumbuh dari sepohon durian".
Sebenarnya secara historis pusat asli Silindung dahulu adalah Saitnihuta. Di situ dahulu, sejak sebelum serangan pasukan Paderi, hidup pasar Onan Sitahuru (tahuru, Btk.; sejenis semut yang membuat sarang di atas pohon). Lokasinya berdekatan dengan Gereja Huta Dame HKBP sekarang.
Di tengah pasar itu tumbuh sepohon hariara, tempat raja-raja kampung bertemu (partungkoan) pada setiap hari pasar. Tapi kehadiran Onan Tarutung kemudian mematikan Onan Sitahuru.Â
Karena kemudian raja-raja kampung, khususnya dari kelompok Siopat Pusoran yang "bersahabat" dengan Belanda, lebih suka berkumpul di bawah pohon tarutung yang ditanam Belanda. Maka jadilah kota Tarutung berpusat di situ.
Kota Wisata Rohani
Satu hal yang dapat dianjurkan kepada Pemda Tapanuli Utara adalah fokus menjadikan kota ini menjadi kiblat wisata rohani bagi umat Kristen Protestan, terutama umat HKBP di seluruh dunia.Â
Kota ini bukan hanya "ibu kota HKBP", tetapi juga Bona Pasogit (kampung hakaman) untuk setiap umat HKBP, bahkan juga untuk Huria Kristen Indonesia (HKI) dan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) yang merupakan "pecahan" HKBP.