Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tarutung, Kota yang Tumbuh dari Sepohon Durian

9 Desember 2019   09:38 Diperbarui: 9 Desember 2019   15:06 2915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandian Air Soda Tarutung, Sumatera Utara.|Sumber: phinemo.com/Hanna Vivaldi via bobo.grid.id

Lazimnya, tetenger suatu desa dan kemudian kota di Tanah Batak adalah pohon hariara (Ficus sp., sejenis beringin). Tapi tidak dengan Tarutung, ibu kota Kabupaten Tapanuli Utara. Tetenger kota terpenting dalam sejarah Tanah Batak ini adalah pohon tarutung, nama lokal untuk durian (Durio zibethinus).

Bagaimana proses tumbuh kota ini dari sepohon durian, nanti saya ceritakan. Sebelum ke situ, saya perlu paparkan dulu keunikan geografi dan demografi kota ini. Lalu mentinggung sedikit peran kota ini dalam perkembangan sosial Tanah Batak, khususnya Kristenisasi.

Geografi Tarutung
Ibu kota Tapanuli Utara ini, 280 km di selatan Medan atau 36 km di selatan Bandara Silangit Siborongborong, berada di tengah lembah Rura Silindung (Btk. rura, Ind. lembah). Kota ini ibarat bentang alam permai di dasar kuali alami raksasa. Seturut kata warganya, Rura Silindung na uli, Rura Silindung nan permai.

Kota ini sepenuhnya dikelilingi perbukitan. Di timur perbukitan Siatas Barita dan Sipahutar. Di utara perbukitan Sipoholon dan dataran tinggi Siborongborong. Di barat perbukitan Adiankoting. Di selatan perbukitan Pahaejulu.

Membelah kota, Aek (Sungai) Sigeaon mengalir ajeg sebagai salah satu penanda Tarutung. Sungai ini menjadi sumber utama pengairan bagi bentang luas persawahan di utara, timur, dan selatan kota sejak masa pra-kolonial.

Kota Tarutung dibelah Aek Sigeaon (Foto: kabarindonesia.com)
Kota Tarutung dibelah Aek Sigeaon (Foto: kabarindonesia.com)
Sesuai ekologi budaya Batak Toba, komunitas Silindung aslinya adalah komunitas persawahan lembah. Sejak lama Lembah Silindung sudah dikenal sebagai salah satu lumbung beras Tanah Batak. Selain, tentu saja, lembah Toba Holbung di selatan Danau Toba, membentang dari Balige di selatan sampai Porsea di utara. 

Bersisian dengan Aek Sigeaon, di belahan barat kota, ruas jalan lintas Sumatera membuka akses Tarutung ke Medan (Pelabuhan Belawan) di utara dan Sibolga (Pelabuhan Sibolga) di selatan. 

Ini jalan warisan Pemerintah Kolonial Belanda yang dibangun akhir tahun 1910-an, bagian dari jalan raya yang membuka Tanah Batak pada "dunia luar".

Di belahan timur kota, di masa merdeka, telah dibangun pula ruas jalan lintas tengah Sumatera. Jalan ini langsung terentang ke Padang Sidempuan, Bukittinggi, sampai Padang di selatan. Dengan begitu akses ke selatan lebih lancar. Tidak lagi harus lewat jalur barat, jalan akses Sibolga, yang penuh kelokan sehingga rawan kecelakaan.

Demografi Tarutung
Jumlah penduduk Tarutung diperkirakan 42,000 jiwa (2018), menjadikan kota ini (108 km2) menjadi yang terpadat di Tapanuli Utara (390 jiwa/km2). Mayoritas, atau hampir seluruhnya, etnis Batak Toba.

Kelompok marga utama di kota ini adalah keturunan Guru Mangaloksa Hasibuan, dikenal sebagai Si Opat Pusoran (pusoran, Btk.; pusaran rambut kepala, Ind.). Kelompok ini terdiri dari marga-marga Hutabarat, Panggabean (termasuk Simorangkir), Hutagalung, Hutatoruan (termasuk Hutapea dan Lumbantobing).

Selain itu terdapat juga marga-marga turunan Raja Naipospos yaitu Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, dan Marbun. Ditambah marga Sitompul sebagai marga pendatang saat Guru Mangaloksa sudah bermukim di Silindung.

Sejumlah tokoh nasional berdarah Batak berasal dari kota ini. Sebut misalnya tokoh militer Maraden Panggabean (Pangab 1973-1978, Menhankam 1978-1983) dan an Feisal Tanjung (Mantan Pangab 1993-1998), Mantan Menkopolkam 1998-1999) dan Sintong Panjaitan (Komjen Kopassus 1983-1987). Atau komponis nasional Nortier Simanungkalit.

Mayoritas warga Tarutung penganut agama Protestan, khususnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Generasi orang Batak Protestan pertama lahir di kota ini (1865), hasil baptisan "Apostel Batak" I.L. Nommensen, seorang Zendeling RMG Jerman yang berhasil meng-kristen-kan orang Batak. Nommensen pertama kali menginjakkan kaki di lembah Silindung tahun 1863 secara efektif memulai karya penginjilannya tahun 1864.

Menariknya, sejak tahun 1500-an hingga 1800-an, kegiatan ekonomi khususnya perdagangan di kota ini dikuasai oleh kelompok Batak Muslim yang banyak berinteraksi dengan para pedagang Minangkabau.

Mereka umumnya bermarga Hutagalung, yang secara turun-temurun telah memeluk Islam. Itu adalah buah gerakan Islamisasi yang dipimpin oleh Fakih Muhammad gelar Tuanku Rao, seorang Panglima Paderi, tahun 1816-1833.

Ompu Bindu Hutagalung, dulunya tentara Paderi, termasuk generasi pertama kelompok Muslim di Tarutung. Dialah pendiri mesjid Al-Jihad, mesjid pertama di Tarutung. 

Mesjid ini dibangun sekitar tahun 1820 di bantaran Aek Sigeaon. Ompu Bindu sangat terbuka menerima pendatang di kampungnya, dengan syarat bersedia menerima agama Islam.

"Ibu Kota" Kristen Batak
Jika merujuk sejarah demografi Tarutung, jauh sebelum kedatangan I.L. Nommensen untuk Kristenisasi, gerakan Islamisasi sudah terjadi lebih dulu di Silindung. 

Hanya saja gerakan Islamisasi kemudian menyurut sejak tahun 1830-an, seiring mundurnya pasukan Paderi pimpinan Fakih Muhammad ke daerah selatan akibat serangan wabah kolera. Pasukan Paderi waktu itu menggunakan pendekatan "bumi hangus", sehingga timbul trauma terhadap gerakan Islamisasi.

Ironisnya, ketika I.L. Nommensen datang untuk karya penginjilan ke Silindung tahun 1863, aktif berkarya sejak 1864, dia kemudian ternyata menjalankan pendekatan serupa cara Paderi juga. 

Tapi dengan neminjam kekuatan tentara Belanda untuk menaklukkan Tanah Batak, untuk mematahkan pengaruh kuat agama asli Batak di bawah kepemimpinan spritual Pendeta Raja Sisingamangaraja XII. 

Dapat dikatakan Perang Batak (1878-1907) yang melibatkan pasukan Belanda dan pasukan Sisingamangaraja XII untuk sebagian adalah atas "undangan" Nommensen dalam rangka percepatan dan perluasan Kristenisasi. 

Nommensen sendiri waktu itu bertindak sebagai "penunjuk jalan" bagi pasukan Belanda. Desa-desa yang mau menerima Kristen waktu itu selamat, sedangkan yang menolak, berarti memihak Sisingamangaraja XI, dibumi-hanguskan.

Maka Perang Batak pada dasarnya adalah "koalisi Injil dan bedil". Penguasaan Tanah Batak oleh Belabda berbanding lurus dengan perluasan Kristenisasi oleh RMG. 

Betapapun ini kontroversial, tapi harus diakui, Kristenisasi telah membawa kemajuan bagi orang Batak di bidang kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Tiga bidang ini melekat pada gerakan Kristenisasi oleh Nommensen.

Salah seorang tokoh Silindung yang mendukung langkah Nommensen adalah Raja Pontas Lumbantobing, seorang Raja Huta Saitnihuta, penentang kekuasaan Sisingamangaraja XII. Semula Raja Pontas menentang Nommensen.

Tapi kemudian berbalik menerimanya dan meminta agar dia dan keluarganya dibaptis menjadi Kristen. Bahkan memberikan tanah Pearaja Hutatoruan untuk didiami dan dibangun oleh Nommensen. Sebelumnya Nommensen tinggal di Saitnihuta, sebelah timur Pearaja dan membangun gereja Kristen Protestan pertama di situ.

Nommensen kemudian membangun Pearaja sebagai pusat karya penginjilannya di Tanah Batak. Di situ dibangun gereja dan bangunan-bangunan untuk keperluan pelayanan sosial-ekonomi.

Sejak itu Pearaja dikenal sebagai pusat penyebaran agama Kristen Protestan di Tanah Batak, kemudian dikenal sebagai Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).

Pimpinan tertinggi HKBP, disebut Ephorus dan Nommensen adalah yang pertama, berkedudukan di Pearaja Tarutung. Di bawahnya adalah para Praeses, pendeta-pendeta yang dipilih sebagai pimpinan distrik HKBP yang tersebar di seluruh Indonesia, bahkan sebenarnya seluruh dunia.

Boleh dibilang, Pearaja Tarutung itu adalah "ibu kota" Kristen Batak (HKBP). Dari kota inilah Ephorus, sebagai pimpinan gereja tertinggi, memimpin umat HKBP di seluruh dunia. Ini sedikit mirip dengan Vatikan, pusat Gereja Katolik Roma, tempat kedudukan Paus sebagai pemimpin tertinggi.

Status "ibu kota" Kristen Batak itu disempurnakan dengan pembangunan "Salib Kasih" raksasa tahun 1993 di atas bukit Siatas Barita, sebelah timur kota Tarutung. "Salib Kasih" itu dibangun sebagai penghormatan atas jasa I.L. Nommensen, sekaligus menjadi lokasi wisata rohani.

Letaknya persis di tebing timur lembah Silindung, berhadapan segaris lurus dengan Kantor Pusat HKBP yang berada di tepi barat lembah. Di titik tengah garis itu terletak "Huta Dame" (istilah Batak untuk Yerusalem), tempat mukim pertama Nommensen sebelum pindah ke Pearaja. 

"Salib Kasih" kini menjadi destinasi wisata rohani populer bagi orang Batak Kristen, terutama pada Masa Paskah dan Natal.

Tumbuh dari Sepohon Durian
Segera setelah memasuki Silindung tahun 1878, pasukan Belanda membangun tangsi militer di tebing barat Silindung, di bantaran Aek Sigeaon. Tempat itu dulu disebut Tangsi. 

Sekarang menjadi pusat kota, tempat komplek perkantoran Bupati Tapanuli Utara dan komplek Kodim berada. Area itu kini masuk ke dalam Kelurahan Hutagalung Siualuompu. 

Sebagai penanda, tentara Belanda menanam sebatang pohon tarutung (durian) di depan komplek, kira-kira 500 meter sebelah barat Aek Sigeaon. Titik tumbuh pohon itu kini berada di antara Jalan Sisingamangaraja, jalan utama kota, dan Jalan Ahmad Yani di tebing barat kota. 

Sekarang berada di Kelurahan Huratoruan VI, pusat kota Tarutung. Jika ditanam sekitar tahun 1880, berarti umur pohon durian itu kini sekitar 140 tahun.

Pohon tarutung atau durian tua (tengah), titik tumbuh kota Tarutung (Foto: screenshot google map)
Pohon tarutung atau durian tua (tengah), titik tumbuh kota Tarutung (Foto: screenshot google map)
Setelah pohon itu agak besar, para raja hutan Silindung kerap mendatangi pohon itu dan berbincang-bincang di bawahnya. Bersamaan dengan itu, mengikuti rajanya, warga sekitar mulai berjualan hasil bumi di situ, sehingga lokasi tersebut tumbuh menjadi onan, pasar tradisional.

Tentara Belanda senang dengan perkembangan itu karena memudahkan mereka mendapatkan kebutuhan pokok harian.

Karena belum punya nama, orang kemudian selalu menyebut "Hu/i/sian Tarutung" untuk tempat itu (hu = ke, i = di, sian = dari). Sehingga lama-kelamaan keseluruhan lokasi itu dinamai "Tarutung".

Pohon durian itu lalu mengambil-alih fungsi pohon hariara, sebagai pusat kegiatan sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi masyarakat Batak Silindung.

Nama "Tarutung" kemudian ditabalkan Pemerintah Kolonial Belanda menjadi nama ibu kota (pusat pemerintahan) Afdeling Bataklanden sejak tahun 1915, seusai Perang Batak. 

Berada di bawah Karesidenan Tapanuli dan dikepalai seorang Asisten Residen, afdeling ini mencakup onder-afdeling Silindung, Humbang, Toba, Samosir dan Sidikalang. 

Afdeling Bataklanden inilah cikal-bakal Kabupaten Tanah Batak (1945), kemudian Tapanuli Utara (1950), pada masa Indonesia merdeka. Ibu kotanya tetap Tarutung. 

Dalam perkembangannya Tapanuli Utara kemudian mengalami pemekaran dengan terbentuknya Kabupaten Dairi (1956), Toba Samosir (1998), Samosir (2003), dan Humbang Hasundutan (2003).

Kota Tarutung sendiri, selain ibu kota Tapanuli Utara adalah ibu kota Kecamatan Tarutung. Pertumbuhan dan perkembangan sosial, ekonomi, politik dan budaya kota ini digagas dan dirintis di kota itu, untuk kemudian meluas ke delapan penjuru kota. 

Karena proses itu berawal dari fungsi sosial, ekonomi, politik dan budaya sepohon durian, maka bisalah dikatakan kota Tarutung itu "tumbuh dari sepohon durian".

Sebenarnya secara historis pusat asli Silindung dahulu adalah Saitnihuta. Di situ dahulu, sejak sebelum serangan pasukan Paderi, hidup pasar Onan Sitahuru (tahuru, Btk.; sejenis semut yang membuat sarang di atas pohon). Lokasinya berdekatan dengan Gereja Huta Dame HKBP sekarang.

Di tengah pasar itu tumbuh sepohon hariara, tempat raja-raja kampung bertemu (partungkoan) pada setiap hari pasar. Tapi kehadiran Onan Tarutung kemudian mematikan Onan Sitahuru. 

Karena kemudian raja-raja kampung, khususnya dari kelompok Siopat Pusoran yang "bersahabat" dengan Belanda, lebih suka berkumpul di bawah pohon tarutung yang ditanam Belanda. Maka jadilah kota Tarutung berpusat di situ.

Kota Wisata Rohani
Satu hal yang dapat dianjurkan kepada Pemda Tapanuli Utara adalah fokus menjadikan kota ini menjadi kiblat wisata rohani bagi umat Kristen Protestan, terutama umat HKBP di seluruh dunia. 

Kota ini bukan hanya "ibu kota HKBP", tetapi juga Bona Pasogit (kampung hakaman) untuk setiap umat HKBP, bahkan juga untuk Huria Kristen Indonesia (HKI) dan Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) yang merupakan "pecahan" HKBP.

Salib Kasih, destinasi wisata rohani di Siatas Barita, Tarutung (Foto: pariwisatasumut.com)
Salib Kasih, destinasi wisata rohani di Siatas Barita, Tarutung (Foto: pariwisatasumut.com)
Ketiga "Gereja Batak" itu sama mengakui Nommensen sebagai "Apostel Batak", penginjil yang menumbuhkan dan mengembangkan agama Kristen Protestan di Tanah Batak. Karena itu destinasi wisata rohani "Salib Kasih" di bukit Siatas Barita adalah kiblat bagi seluruh umat Kristen Batak.

Selayaknya kiblat itu disatukan dengan Gereja HKBP Dame di Saitnihuta. Karena itulah gereja pertama di Tanah Batak, tempat awal penyebaran ajaran Kristen kepada orang Batak, sebelum Nommensen pindah ke Pearaja. 

Mungkin, Gereja HKBP Dame itu layak dijadikan sebagai simbol Bona Pasogit untuk seluruh umat Gereja Batak Protestan.

Tarutung Silindung barangkali semacam "tanah terjanji" yang terberkati. Di tanah ini ada kolam air panas (belerang) di Hutabarat, mungkin simbol kolam penyembuhan Siloam. Juga kolam air soda di Parbubu, mungkin simbol kolam penyembuhan Bethesda. 

Di tengah tanah ini mengalir Aek Sigeaon yang tak pernah kering, mungkin simbol Sungai Jordan.

Barangkali, saat Nommensen  pertama kali datang tahun 1863 dan berdiri di atas bukit Siatas Barita memandang lembah Silindung yang indah permai, dia berbisik dalam hati, "Inilah Jerusalem Baru!" Maka dia kemudian membangun komplek "Huta Dame" (Jerusalem) di Saitnihuta, tepat di jantung lembah Silindung.

Nommensen, saya pikir, telah meletakkan dasar-dasar teologis Tarutung atau Rura Silindung sebagai "Jerusalem Baru". Tinggal bagaimana Pemda Tapanuli Utara dan Organisasi Gereja HKBP mengembangkannya untuk mewujudkan Tarutung sebagai kiblat ziarah rohani bagi umat Kristen Batak Protestan.

Demikian penceritaan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, rindu Tarutung rindu Silibdung, menghabiskan masa kecil sampai remaja di sebuah kampung yang beribukotakan Tarutung.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun