Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Rabu 17 April 2019, Apakah Tuhan akan Kalah?

27 Maret 2019   14:39 Diperbarui: 27 Maret 2019   15:26 2492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Barang siapa pernah belajar Sosiologi, pasti tahu teori Aguste Comte, Bapak Sosiologi, tentang tiga tahap perkembangan masyarakat, dilihat dari cara berpikirnya. 

Mulai dari, pertama,  Tahap Teologis, mulai dari sub-tahap fetisisme (kepercayaan animisme dan dinamisme), ke politeisme (kepercayaan pada banyak dewa), sampai sub-tahap monoteisme (kepercayaan akan Tuhan Yang Tunggal).

Pada tahap ini, orang berpikir apapun yang terjadi di dunia ini, itu pasti karena pekerjaan kekuatan adikodrati.  Misalnya, banjir badang itu hasil pekerjaan dewa-dewa atau hukuman Tuhan.

Lalu, kedua, Tahap Metafisik, sebagai tahap transisi, yaitu kepercayaan adanya  hukum-hukum alam azasi yang mengatur hidup dan hukum-kukum itu bisa ditemukan dalam akal budi.

Di tahap ini orang berpikir bahwa segala kejadian di dunia ini adalah hasil proses sebab-akibat antar kekuatan-kekuatan alam sendiri.  Banjir badang itu, misalnya, semata-mata akibat hujan yang terlalu lebat.

Terakhir, ketiga, Tahap Positivisme, yaitu kepercayaan pada data empiris sebagai sumber pengetahuan untuk menjelaskan ikhwal kehidupan walaupun sifatnya sementara, dalam arti terbuka untuk dikoreksi.

Pada tahap ini orang berpikir bahwa banjir badang, sebagai contoh, terjadi karena vegetasi di daerah hulu gundul, sehingga curah hujan tinggi tidak bisa ditahan dalam tanah, lalu terjadilah banjir badang di hilir.

Setelah 74 tahun merdeka, dan pendidikan warga sudah maju, logikanya masyarakat Indonesia itu sudah lama tiba pada Tahap Positivisme.   Masyarakat yang berpikir empiris, menilai salah benarnya pernyataan berdasarkan data empiric pendukungnya.

Tapi benarkah begitu?  Gelaran Pilpres 2019 ini justru memberi indikasi sebaliknya.   Bangsa ini, untuk sebagian besar, rupanya masih terpenjara pada Tahap Teologis.   Masih berpikir bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini semata-mata karena perbuatan Tuhan.

Sebelum saya tunjukkan fakta-fakta yang mendukung indikasi masyarakat Indonesia Tahap Teologis itu, untuk mendapatkan pemahaman tentang seperti apa masyarakat semacam itu, mungkin perlu menyimak anekdot berikut terlebih dahulu.

***

Poltak itu boleh dibilang 100 persen Batak Toba 100 persen Katolik.  Dia seorang chauvinis lokal, "Right or Wrong My Toba".   Sekaligus seorang agamis garis lurus, "Kata Kitab Suci A maka A".

Aneh sebenarnya, kalau dipikir bahwa Poltak itu pernah tinggal lama berkuliah di Yogyakarta dan kini tinggal di Jakarta.

Chauvinismenya sungguh menyunggi Toba sedemikian tingginya.  Dia yakin, seandainya Yesus Kristus lahir dan besar di Toba, pastilah Dia dan keduabelas muridnya lesehan makan arsik ikan mas  pada momen "Perjamuan Terakhir.

Setiap langkahnya, setiap argumennya, selalu dikembalikan pada ayat-ayat Kitab Suci.

Begitulah, ketika Saulina anak perempuannya lebih doyan makan roti ketimbang nasi, Poltak langsung berkotbah.

"Nak, nasi itu asli makanan orang Batak Toba.  Sejak jaman Si Raja Batak sudah begitu.  Maka cintailah nasi."

"Lagi pula," lanjutnya, "di dalam Injil jelas ada tertulis, manusia tidak hidup dari roti saja ."   Bla bla bla, masih panjang nasihatnya.

Daripada dinasihati terus pakai ayat-ayat suci, ya, sudah, Saulina anak perempuannya mengurangi makan roti dan memperbanyak makan nasi.

Tapi Poltak tidak selalu bisa berjaya dengan ayat-ayat suci.

Saulina, anak perempuannya itu, tak doyan makan sayur. Ketika dia panjang-lebar menasihati Saulina, anak terkasihnya mengucap dalil pemati kutu.

"Ayah, di dalam Injil tidak ada ayat yang bilang Yesus kecil rajin makan sayur."

Glek, Poltak selayaknya kesedak bakpia bulat-bulat.   Tak bisa ngomong apapun lagi.

"Bah..!", mati kamus dia.  "Bu, ajarin anakmu, tuh."  Poltak yang kalah dalil akhirnya melempar tanggungjawab pada isterinya.

Perilaku Poltak sejatinya adalah perilaku politik di aras sosial terkecil.  Aras keluarga.  Untuk melegitimasi kekuasaannya sebagai kepala keluarga, Poltak meminjam kuasa yang inheren pada ayat-ayat Kitab Suci.

Dengan menyitir ayat-ayat suci, dia berharap anak perempuannya akan mengikuti nilai-nilai sosial-budaya yang ingin ditanamkannya.

Sadar atau tidak sadar, dengan cara itu, Poltak mengkondisikan keluarganya untuk berada dalam cara pikir masyarakat Tahap Teologis.

***

Dari aras anekdotas keluarga Poltak, sekarang coba naik ke aras faktual negara.

Ternyata, dalam konteks Pilpres 2019, terbaca gejala politisi mengiring masyarakat untuk kembali atau mungkin juga terkungkung dalam cara pikir masyarakat Tahap Teologis.  Padahal, faktual masyarakat Indonesia sudah berada pada Tahap Positivisme.

Artinya, para politisi itu menyeret mundur masyarakat ke belakang, atau ke tahap terbelakang dalam perkembangan masyarakat menurut Comte tadi.  Kalau dibilang tega hati, ya memang, sungguh tega!

Ambil contoh, ada politisi gaek yang pernah membuat dikotomi Partai Allah dan Partai Setan.  Itu artinya, jika memilih Capres yang diusung Partai Allah, berarti bersekutu dengan Allah.  Upahnya masuk surga.

Mengapa Capres itu yang diusung, tak perlu dipertanyakan. Itu kehendak Allah, maka harus diikuti.  Titik.

Kalau ditanya apakah kader Partai Allah boleh korupsi, atau mencabuli anak sendiri bertahun-tahun, kira-kira akan bagaimanakah jawabnya Entahlah, karena tidak ada yang bertanya seperti itu.

Sebaliknya jika memilih Capres yang diusung Partai Setan, berarti bersekutu dengan setan.  Upahnya masuk neraka.

Sewaktu panas-panasnya pemilihan kandidat cawapres, dari lingkungan Partai Allah itu pernah ada ijtima ulama yang menyampaikan usulan nama cawapres ulama.  Kata pemrakarsa itjtima itu, yang kini ada di "tanah pelarian", karena hasil itjtima ulama maka nama cawapres itu adalah kehendak Allah.

Hebatnya, capres yang diusung Partai Allah itu menolah hasil itjtima tersebut.  Dia memilih cawapres muda yang bukan ulama dan bukan pula santri.  Maka, boleh dibilang, capres itu telah melawan kehendak Allah. 

Dalam kasus itu, bolehlah ditafsir, Sang Capres telah "menang terhadap Allah".  Karena dia menolak cawapres yang dikehendaki Allah.  Logikanya begitu.  Kalau pakai akal sehat.

Baru-baru ini politisi gaek yang sama bilang bahwa malaikat mendoakan pasangan capres-cawapres jagoannya untuk memenangi Pilpres 2019.  Artinya, dia hendak menyampaikan pesan kepada khalayaknya, bahwa capres-cawapres yang didukung partainya itu akan menang karena sudah didoakan oleh para malaikat Allah.

Para pengikutnya tentu tidak akan mau bertanya kritis:  Bukankah cawapres itu pilihan capres yang notabene manusia?   Sebab cawapres kehendak Allah telah ditolak? 

Jelas politisi gaek itu sedang menggiring masyarakat pada cara pikir masyarakat Tahap Teologis. Pokoknya semua ini kehendak Tuhan.   Tuhan yang telah memilih capres-cawapres itu.  Maka tidak memilih mereka, berarti melawan kehendak Tuhan.

Misalkan ada yang bertanya mengapa Tuhan punya kehendak menetapkan mereka sebagai capres-cawapres, maka orang itu kemungkinan akan dicap kafir.   Tidak percaya pada Tuhan. Nah, siapa pula yang gembira dituduh kafir? Yang berisiko "dari kumpulan terbuang"? (kata Chairil Anwar).

***

Rabu 17 April 2019, Pilpres 2019 akan digelar.   Mari kita tunggu, capres-cawapres mana yang akan terpilih menjadi Presiden dan Wapres RI.

Jika capres-cawapres yang diusung politikus gaek itu nanti kalah,  kira-kira apakah dia akan berteriak bahwa Tuhan telah kalah dalam Pilpres 2019?

Sebaliknya, jika menang, apakah dia akan berteriak bahwa Tuhan telah menang dalam Pilpres 2019?

Siapapun yang menang, dan apapun kata politikus gaek itu, menurut saya, Felix tani, petani mardijker, Tuhan tak akan pernah menang ataupun kalah dalam Pilpres 2019 nanti. 

Karena Tuhan tidak pernah ikut kontestasi Pilpres RI 2019.   Para politikuslah yang telah merendahkanNya dengan cara menyeretNya ke permainan politik yang serba kotor.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun