Glek, Poltak selayaknya kesedak bakpia bulat-bulat. Â Tak bisa ngomong apapun lagi.
"Bah..!", mati kamus dia. Â "Bu, ajarin anakmu, tuh." Â Poltak yang kalah dalil akhirnya melempar tanggungjawab pada isterinya.
Perilaku Poltak sejatinya adalah perilaku politik di aras sosial terkecil. Â Aras keluarga. Â Untuk melegitimasi kekuasaannya sebagai kepala keluarga, Poltak meminjam kuasa yang inheren pada ayat-ayat Kitab Suci.
Dengan menyitir ayat-ayat suci, dia berharap anak perempuannya akan mengikuti nilai-nilai sosial-budaya yang ingin ditanamkannya.
Sadar atau tidak sadar, dengan cara itu, Poltak mengkondisikan keluarganya untuk berada dalam cara pikir masyarakat Tahap Teologis.
***
Dari aras anekdotas keluarga Poltak, sekarang coba naik ke aras faktual negara.
Ternyata, dalam konteks Pilpres 2019, terbaca gejala politisi mengiring masyarakat untuk kembali atau mungkin juga terkungkung dalam cara pikir masyarakat Tahap Teologis. Â Padahal, faktual masyarakat Indonesia sudah berada pada Tahap Positivisme.
Artinya, para politisi itu menyeret mundur masyarakat ke belakang, atau ke tahap terbelakang dalam perkembangan masyarakat menurut Comte tadi. Â Kalau dibilang tega hati, ya memang, sungguh tega!
Ambil contoh, ada politisi gaek yang pernah membuat dikotomi Partai Allah dan Partai Setan. Â Itu artinya, jika memilih Capres yang diusung Partai Allah, berarti bersekutu dengan Allah. Â Upahnya masuk surga.
Mengapa Capres itu yang diusung, tak perlu dipertanyakan. Itu kehendak Allah, maka harus diikuti. Â Titik.