Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wisata Ekologi Budaya Baktiraja Tanah Batak

18 Desember 2018   13:11 Diperbarui: 21 Desember 2018   14:50 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lembah Bakkara atau Baktiraja yang elok dilihat dari Panatapan (Foto: tourtoba.com)

Pernah dengar Baktiraja? Mendengar nama itu, kebanyakan orang mungkin langsung membayangkan sebuah desa di Jawa.

Tidak, itu bukan desa di Jawa, itu nama sebuah kecamatan di Tanah Batak. Tepatnya di Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas. Kecamatan terkecil tapi satu-satunya yang memiliki garis pantai Danau Toba di kabupaten pemekaran Tapanuli Utara itu.

Nama "Baktiraja" itu kependekan dari "Bakkara-Tipang-Janjiraja". Bakkara adalah kampung pusat pemerintahan Raja Sisingamangara tempo dulu. Tipang dan Janjiraja adalah dua kampung tua lainnya yang bertetangga dengan Bakkara. 

Baktiraja atau Bakkara sebenarnya sudah ada dalam peta Tanah Batak sejak masa penjajahan Belanda. Namun karena letaknya yang terpencil, jauh dari jalur jalan raya trans-Sumatra, daerah ini kurang sentuhan pembangunan dan kurang dikenal pelancong dari luar.

Tapi justru karena kurang sentuhan dari "luar", keaslian dan keasrian Baktiraja sebagai daerah kampung-kampung asli Batak Toba menjadi terpelihara.

Jika ingin melihat dan mengalami kehidupan masyarakat Batak Toba yang masih relative "asli", sekaligus mempelajari sejarah sosial masyarakat Batak, maka sebaiknya pergilah ke Baktiraja.

Geografi Baktiraja

Baktiraja dapat dicapai dari dua arah. Pertama dari arah gunung, dataran tinggi Humbang, tepatnya dari Doloksanggul, Ibukota Humbahas. Jaraknya sekitar 20 km, atau 45 menit perjalanan berkendara. Cara ini bisa dilakukan setiap saat.

Kedua dari arah danau, naik kapal, misalnya dari kota Balige, Ibukota Toba Samosir (Tobasa) atau Muara (antara Balige dan Baktiraja di garis pantai danau), berlabuh di dermaga Bakkara sekaligus Onan Bakkara.

Cara kedua ini memiliki keterbatasan karena hanya ada satu kali pelayaran kapal kayu dari Balige ke Bakkara dan desa-desa lain di bibir pantai tiap harinya.

Karena itu pilihan cara yang paling umum adalah turun dari Doloksanggul ke Baktiraja. Cara ini memberi sensasi tersendiri. Karena sebelum turun ke lembah Bakkkara atau Baktiraja, tepat di Panatapan, dari ketinggian dataran Humbang, hamparan lembah Bakkara yang permai di mulut teluk Bakkara akan menjadi panorama yang mengetarkan jiwa.

Lembah Baktiraja dilihat dari ketinggian pada sudut lain (Foto: bitra.or.id)
Lembah Baktiraja dilihat dari ketinggian pada sudut lain (Foto: bitra.or.id)
Ditatap dari Panatapan, lembah Bakkara adalah ikon ideal masyarakat Batak tua sebagai "komunitas lembah". Dari ketinggian akan terlihat lembah Bakkara atau Baktiraja dibelah tiga oleh dua sungai. Sungai Aek Silang yang airnya merah dan Aek Simangira yang airnya putih, yang menyatu menjelang pantai Danau Toba.

Dua sungai itulah sumber irigasi untuk hamparan sawah yang memenuhi lembah Bakkara. Jika ditatap dari Panatapan pada bulan Januari-Februari, maka lembah itu adalah permadani hijau layaknya. Empat bulan kemudian, dia menjadi hamparan permadani kuning emas. Pertanda petani Baktiraja siap menyambut panen raya padi.

Padi adalah komoditas utama petani Baktiraja. Komoditas penting lainnya adalah bawang merah, dan mangga "Batak" yang terkenal "tahan lama". Sampai sekarang, Baktiraja tergolong produsen padi dan bawang utama di Humbang-Hasundutan.

Genealogi Baktiraja

Baktiraja terdiri dari delapan desa yaitu Marbun, Marbundolok, Marbuntonga, Simamora, Simangulampe, Sinambela, Siunongunongjulu, dan Tipang. 

Dari nama-nama desa ini segera dapat diketahui tiga "marga raja" Batak Toba yang berdiam di sana, yaitu Marbun, Simamora, dan Sinambela. Tiga "marga raja" lainnya adalah Bakara, Sihite, dan Simanullang.

Keenam marga raja itu dikenal sebagai Sionom Ompu (Enam Tetua) yang meraja atas Bius Bakkara di masa lalu. Bius adalah federasi huta atau kampung-kampung marga raja yang ada di Bakkara. 

Empat dari enam marga raja itu, yaitu Sinambela, Bakara, Sihite, dan Simanullang adalah keturunan Si Raja Oloan, pemukim pertama di lembah Baktiraja. Dua marga lain keturunannya adalah Naibaho dan Sihotang.

Turunan Si Raja Oloan yang paling terkenal tentu saja Dinasti Sisingamangaraja (I-XII), marga Sinambela. Ruma Bolon (Rumah adat Batak ukuran besar) kediamannya berada di huta Lumbanraja (Btk. lumban: Ind. kampung, dukuh), dalam satu komplek "istana". Lumbanraja sekarang menjadi salah satu dusun dalam wilayah administratif Desa Simamora.

Secara historis, pada masa kedinastian Sisingamangaraja, Lumbanraja tidak masuk dalam cakupan Bius Bakkara. Lumbanraja mengadakan upacara bius sendiri, atau pesta bius, upacara ritual antara lain jika hendak memasuki musim tanam padi. 

Upacara bius di Lumbanraja, dipimpin langsung Sisingamangaraja, dimaksudkan untuk seluruh wilayah Tanah Batak yang mengakui Sisingamangaraja sebagai "Pendeta Raja". Jadi kekuasaannya, dalam hal ini kekuasan religious, tidak hanya berlaku untuk Bakkara, tetapi untuk Tanah Batak umumnya.

Wisata Ekologi Budaya

Apakah alam yang membentuk budaya (antropo-geography) atau budaya yang membentuk alam (ekologi budaya)? Ini sebenarnya kerangka teori C. Geertz saat menjelaskan "inti budaya sawah" pada orang Jawa.

Geertz merujuk pada konsep ekologi budaya: orang (petani) Jawa dipindah ke luar-Jawa pasti akan membangun sawah, inti budayanya, di sana.

Teori itu berlaku juga untuk orang Batak, komunitas lembah yang selalu membangun persawahan sebagai inti budayanya.

Maka berkunjung ke Baktiraja, sebagai turis, mestinya sangat elok jika menggunakan konsep ekologi budaya sebagai "cara pandang" atau "cara menikmati" obyek wisata. Saya sebut ini sebagai wisata ekologi budaya.

Jika berwisata ke Baktiraja dengan konsep "ekologi budaya", maka baiklah mengambil istana Sisingamangara sebagai titik awal. Sebab di sinilah bisa disaksikan artefak-artefak "budaya sawah" orang Batak di Baktiraja.

Istana Dinasti Sisingamangara di Lumbanraja, Baktiraja (Foto: fotokita.net)
Istana Dinasti Sisingamangara di Lumbanraja, Baktiraja (Foto: fotokita.net)
Artefak pertama tentu saja figur Boraspati Ni Tano (Bengkarung) menghadap figur Adop-adop (empat payudara) di dinding depan (dorpi jolo) Ruma Bolon, Rumah Besar kediaman Sisingamagaraja (hasil pemugaran). 

Boraspati Ni Tano dan Adop-adop adalah simbol kesuburan tanah dan keberhasilan usahatani (dan ternak) bagi orang Batak. Penempatan figure itu di dinding depan adalah doa agar penghuni rumah diberi keberkahan berupa hasil panen yang melimpah.

Artefak kedua adalah Batu Siungkapungkapon (Batu untuk diungkit-ungkit). Dahulu pada upacara penentuan masa tanam, Sisingamangaraja akan memotong hoda silintong (kuda hitam) dan membakar dagingnya di atas batu yang dikeramatkan itu. Sebagai persembahan kepada Mulajadi Na Bolon (Awal Mula Maha Besar), agar memberkati pertanaman penduduk.

Pada waktu tertentu, batu tersebut kemudian diungkit (diungkap). Jika di bawahnya terdapat semut merah beriring, maka Sisingamangara akan menjanjurkan warganya untuk menanam padi merah. Jika semut warna putih yang beriring, maka dianjurkan menanam padi putih. Melanggar anjuran itu akan berbuah gagal panen.

Karena menjadi sumber informasi untuk panduan tanam (padi), maka Batu Siungkapungkapon itu disebut juga Batu Panungkunan Boni, batu tempat bertanya tentang benih (padi merah atau putih?).

Menjelang panen, ada pula upacara mangamoti, syukuran panen. Warga makan nasi dari panen pertama secara bersama, dengan lauk daging ternak (babi), atas biaya bersama. Jika datang ke Baktiraja menjelang panen, upacara ini masih dapat disaksikan antara lain di kampung Tipang. 

Artefak ketiga adalah Ruma Siamporik, lumbung padi berbentuk rumah adat mini. Di kampung-kampung tua, misalnya di Desa Marbun, masih bisa ditemukan ruma siamporik peninggalan leluhur warga Baktiraja.

Artefak keempat, yang dapat disaksikan di sudut-sudut Baktiraja tentu saja ternak kerbau sebagai tenaga utama untuk membajak sawah. Dahulu ternak kerbau dikandangkan di kolong rumah Batak yang memang tinggi, sekitar 2 meter. 

Setelah itu semua, barulah pergi melihat artefak utama inti budaya lembah orang Batak di Baktiraja, yaitu hamparan persawahan, lengkap dengan tali air atau sistem irigasi tradisionalnya yang diatur oleh seorang Raja Bondar (pemangku irigasi). 

Di masa lalu sebelum berlakunya sistem upah, kegiatan di sawah dilakukan dengan cara marsialapari (marsiadapari), gotong-royong, atau sambatan (Jawa). Pemilik sawah hanya menanggung makan siang dan sore untuk tetangga kampung yang bekerja mencangkul, menanam, ataupun memanen padi di sawahnya.

Keindahan Ekologi Budaya Baktiraja

Keindahan ekologi budaya Baktiraja atau Bakkara dengan sangat indah juga digambarkan oleh tonggo-tonggo (doa) Sisingamangara, yang penggalannnya sebagai berikut:

"Tano Bakkara Toba, na mardindinghon dolok, na marhire-hire ombun/Parsampuran maragap-agap, sampuran marugup-ugup/Parbinanga sisola huta, pargadu-gadu siboltaklangit, parmuara baba lubis/ Partao na songon salaon ginaru, parriap-riap na songon hambing na modom."

Terjemahan bebasnya:

"Tanah Bakkara Toba, berdindingkan gunung, bertiraikan mega/Air terjunnya bergelora, jeramnya berbuih-buih/Sungainya membelah kampung, tali airnya membelah langit, muaranya berpusaran/Danaunya tak pernah diam, riak airnya laksana kawanan domba tidur."

Budaya lembah orang Batak Bakkara itulah yang telah menciptakan keindakan ekologi budaya Baktiraja. Sebagaimana digambarkan oleh "puisi" tua itu.

Ke sanalah aku, Felix Tani, petani mardijker, akan pergi, untuk mereguk pesona keindahan ekologi budaya asli Batak Toba.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun