Wisata Ekologi Budaya
Apakah alam yang membentuk budaya (antropo-geography) atau budaya yang membentuk alam (ekologi budaya)? Ini sebenarnya kerangka teori C. Geertz saat menjelaskan "inti budaya sawah" pada orang Jawa.
Geertz merujuk pada konsep ekologi budaya: orang (petani) Jawa dipindah ke luar-Jawa pasti akan membangun sawah, inti budayanya, di sana.
Teori itu berlaku juga untuk orang Batak, komunitas lembah yang selalu membangun persawahan sebagai inti budayanya.
Maka berkunjung ke Baktiraja, sebagai turis, mestinya sangat elok jika menggunakan konsep ekologi budaya sebagai "cara pandang" atau "cara menikmati" obyek wisata. Saya sebut ini sebagai wisata ekologi budaya.
Jika berwisata ke Baktiraja dengan konsep "ekologi budaya", maka baiklah mengambil istana Sisingamangara sebagai titik awal. Sebab di sinilah bisa disaksikan artefak-artefak "budaya sawah" orang Batak di Baktiraja.
Boraspati Ni Tano dan Adop-adop adalah simbol kesuburan tanah dan keberhasilan usahatani (dan ternak) bagi orang Batak. Penempatan figure itu di dinding depan adalah doa agar penghuni rumah diberi keberkahan berupa hasil panen yang melimpah.
Artefak kedua adalah Batu Siungkapungkapon (Batu untuk diungkit-ungkit). Dahulu pada upacara penentuan masa tanam, Sisingamangaraja akan memotong hoda silintong (kuda hitam) dan membakar dagingnya di atas batu yang dikeramatkan itu. Sebagai persembahan kepada Mulajadi Na Bolon (Awal Mula Maha Besar), agar memberkati pertanaman penduduk.
Pada waktu tertentu, batu tersebut kemudian diungkit (diungkap). Jika di bawahnya terdapat semut merah beriring, maka Sisingamangara akan menjanjurkan warganya untuk menanam padi merah. Jika semut warna putih yang beriring, maka dianjurkan menanam padi putih. Melanggar anjuran itu akan berbuah gagal panen.
Karena menjadi sumber informasi untuk panduan tanam (padi), maka Batu Siungkapungkapon itu disebut juga Batu Panungkunan Boni, batu tempat bertanya tentang benih (padi merah atau putih?).