Tapi sebelum masuk ke sana, saya perlu jelaskan dulu metode kerja untuk artikel ini. Â Jadi kalau ada yang menanggapi, setidaknya dia sudah tahu posisi metodoligis saya.
Saya menggunakan metode riset kualitatif dengan strategi studi kasus di sini. Â Intinya saya mengambil sejumlah kasus kebijakan/program pembangunan, mengumpulkan informasi empiriknya dari media massa, mengolahnya, lalu menafsirnya.
Tafsir itu sifatnya kualitatif. Karena  itu jika ada yang membantahnya dengan mempertanyakan data kuantitatif, maka dia salah alamat atau mungkin tak faham metode riset sosial.
***
Sekarang saya mau langsung masuk ke fakta empiris, dengan menyajikan empat kasus "program" pembangunan Jakarta yang dijalankan Pemerintahan Anies Baswedan.
Kasus 1: Penataan PKL. Â
Program ini niatnya mulia, memberdayakan golongan ekonomi lemah perkotaan di Jakarta. Dengan asumsi PKL adalah ekonomi lemah, tentu saja.
Kasus penataan PKL di Tanahabang itu contoh bagus untuk pembangunan semu. Menempatkan PKL di badan jalan Jatibaru tidaklah meningkatkan status PKL. Â Mereka tetap PKL yang informal, tidak punya status hukum yang definitif.
Tanpa pengakuan pada PKL sebagai usaha formal, tetap saja mereka periferal. Â Tidak punya kekuatan hukum untuk pengajuan kredit usaha kecil ke bank misalnya. Rawan terhadap pungli dan sewaktu-waktu bisa saja digusur.
Keberadaan PKL di jalan Jatibaru dengan demikian adalah suatu capaian semu. Di permukaan kelihatannya PKL dimuliakan. Padahal sejatinya mereka "masih seperti yang dulu".
Kasus 2: Sistem  Ganjil-Genap