Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Studi Kasus Pembangunan Semu di Jakarta

17 Agustus 2018   18:08 Diperbarui: 18 Agustus 2018   04:42 2337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta tumbuh ke atas meninggalkan warganya di bawah (Foto: kompas.com)

Kemarin saya membagikan artikel "Gejala Pembangunan Semu di Jakarta" (kompasiana.com, 16/8/18).  Artikel sederhana itu mendapat respon positif berupa komentar konstruktif dari teman-teman Kompasianer.  

Untuk memfasilitasi suatu pemahaman utuh, saya merasa perlu untuk menulis-ulang artikel itu, melengkapi hal-hal yang kurang, dan membagikannya kembali di sini.

Saya sudah sebutkan, istilah "pembangunan semu" (pseudo-development)  itu merujuk pada fakta tidak adanya kemajuan jika dilihat secara keseluruhan, tapi ada fakta kemajuan jika dilihat secara parsial.  

Namun kemajuan parsial itu hanya bersifat kamuflase, menyembunyikan fakta madalah yang tak teratasi.  Itu alasannya dinamai "pembangunan semu".

Contohnya program bantuan langsung tunai (BLT) untuk keluarga miskin. Program ini meningkatkan daya beli keluarga miskin. Tetapi tidak meningkatkan pendapatan nasional. Karena sifatnya bukan   menciptakan pendapatan baru.

Maka peningkatan daya beli keluarga miskin itu  semu. Dalam arti tidak mencerminkan peningkatan pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan produktif keluarga miskin sendiri.  

Program BLT hanya mengatasi dampak ekonomis kemiskinan yaitu daya beli lemah. Tidak mengatasi penyebab kemiskinan. Sehingga sejatinya keluarga miskin tetap saja miskin.

Untuk konteks masyarakat petani tahun 1970-an, Prof. Sajogyo merumuskannya gejala pembangunan semu itu dengan istilah "modernisasi tanpa pembangunan".  Faktanya waktu itu yetjadi modernisasi teknologi pertanian, tapi pendapatan buruh tani dan petani gurem stagnan, bahkan mengecil.

Pembangunan semu dengan demikian menunjuk pada gejala tidak adanya  pertumbuhan. Kendati teramati ada gerakan, tapi itu seperti orang lari di tempat. Ujungnya adalah  stagnasi.

***

Itu tadi teorinya. Empiriknya hendak saya tunjukkan di Jakarta. Di kota ini, memasuki semester kedua tahun 2018 ini, teridentifikasi adanya gejala pembangunan semu.

Tapi sebelum masuk ke sana, saya perlu jelaskan dulu metode kerja untuk artikel ini.  Jadi kalau ada yang menanggapi, setidaknya dia sudah tahu posisi metodoligis saya.

Saya menggunakan metode riset kualitatif dengan strategi studi kasus di sini.  Intinya saya mengambil sejumlah kasus kebijakan/program pembangunan, mengumpulkan informasi empiriknya dari media massa, mengolahnya, lalu menafsirnya.

Tafsir itu sifatnya kualitatif. Karena  itu jika ada yang membantahnya dengan mempertanyakan data kuantitatif, maka dia salah alamat atau mungkin tak faham metode riset sosial.

***

Sekarang saya mau langsung masuk ke fakta empiris, dengan menyajikan empat kasus "program" pembangunan Jakarta yang dijalankan Pemerintahan Anies Baswedan.

Kasus 1: Penataan PKL.  

Program ini niatnya mulia, memberdayakan golongan ekonomi lemah perkotaan di Jakarta. Dengan asumsi PKL adalah ekonomi lemah, tentu saja.

Kasus penataan PKL di Tanahabang itu contoh bagus untuk pembangunan semu. Menempatkan PKL di badan jalan Jatibaru tidaklah meningkatkan status PKL.  Mereka tetap PKL yang informal, tidak punya status hukum yang definitif.

Tanpa pengakuan pada PKL sebagai usaha formal, tetap saja mereka periferal.  Tidak punya kekuatan hukum untuk pengajuan kredit usaha kecil ke bank misalnya. Rawan terhadap pungli dan sewaktu-waktu bisa saja digusur.

Keberadaan PKL di jalan Jatibaru dengan demikian adalah suatu capaian semu. Di permukaan kelihatannya PKL dimuliakan. Padahal sejatinya mereka "masih seperti yang dulu".

Kasus 2: Sistem  Ganjil-Genap

Sistem  lalu-lintas ganjil-gena tadinya hanya berlaku sebatas Sudirman-Thamrin, Gatot Subrota, dan Rasuna Said. Sekarang meluas  ke timur  (MT Haryono, DI Panjaitan), selatan (Kartini, Pondok Indah), barat (S. Parman) dan utara (Benyamin Suaeb).  

Aslinya kebijakan ganjil-genap  dimaksudka Pemda Jakarta sebelumnya sebagai transisi menuju sistem jalan berbayar. Sambil menunggu MRT dan LRT operasional.

Nah, perluasan sistem ganjil-genap itu diklaim Pemda Jakarta mengurangi kemacetan secara signifikan. Ya, tentu saja begitu di ruas-ruas jalan ganjil-genap.

Tapi coba lihat kondisi jalan-jalan alternatif.  Kemacetan bertambah parah. Jadi kalau dihitung secara agregat Jakarta, tingkat kemacetan sebenarnya tidak berubah.

Ini hanya memindahkan kemacetan dari jalan-jalan utama ke jalan-jalan alternatif. Artinya, kelancaran di jalan-jalan utama itu bersifat semu. Sekali sistem ganjil-genap dihapus, jalanan pasti macet lagi.

Hanya kalau sistem transportasi publik modern terintegrasi yang pernah dijanjikan Pak Anies Baswedan bisa direalisir, barulah ada harapan kemacetan akan berkurang.

Kasus 3: Naturalisasi Sungai

Untuk menata daerah aliran sungai, Pak Anies Baswedan menjanjikan naturalisasi sungai. Ini istilah lain untuk normalisasi sungai era Pak Ahok. Semacam mie instanvyang sama dengan bungkus yang beda.

Dengan naturalisasi sungai, yang dibayangkan tentunya adalah pemulihan ekosistem sungai menjadi alami seperti semula. Sebagai hasilnya,  sungai-sungai Jakarta akan berair jernih dan bersih serta tak berbau.

Tapi itu hanya bayangan. Faktanya tidak ada naturalisasi sungai di Jakarta sejauh ini.  

Yang ada justru  "kamuflase" di Kali Item. Sungai dikerudungi waring, sekaligus diberi perlakuan teknologi nano buble dan teknologi mikroba, untuk menghilangkan ruapan bau.  

Jadi bukan masalah pencemaran sungai  yang diatasi . Tapi masalah ruapan  bau busuk  ke Wisma Atlet Kemayoran yang menjadi fokus.

Jadi kalau hari ini  Kali Item tak bau, maka itu capaian semu. Begitu efek nano buble dan mikroba habis, dan selubung  waring dibuka, maka bau Kali Item akan menyeruak kembali.  

Sebab masalah utamanya, yaitu pencemaran badan sungai oleh limbah domestik dan industri kecil/rumahan, tidak pernah diatasi.  

Kasus 4: Penataan Kampung Miskin

Penataan kampung miskin dalam visi Pak Anies Baswedan adalah anti-penggusuran. Menggeser boleh, tapi menggusur tidak.

Yang sudah dilakukan Pak Anies adalah ikut merayakan kemenangan warga Bukit Duri dalam kasus penggusuran Pemerintahan Ahok dan pengembalian warga Kampung Akuarium ke lokasi semula, dengan membangun penampungan sementara.  

Perayaan dengan warga Bukit Duri dan Kampung Akuarium itu sesuatu yang semu. Sebab tidak ada kepastian kspan dan bagaimana pemukinan di sana akan ditata-ulang. Kendati warga Bukit Duri sudah menawarkan disain kampung lapus yang mereka inginkan.

Jadi faktual Bukit Duri dan Kampung Akuarium sampai sekarang belum menjadi kampung tataan baru.  

Yang ada justeru kampung warna-warni yang diklaim sebagai kemajuan. Padahal warna-warni itu cuma kamuflase yang menutupi fakta kekumuhan di baliknya.

Lalu ada peletakan batu pertama pembangunan rusunami DP 0% di Pondok Kelapa yang kini mulai dibangun. Dengan DP 0% maksudnya adalah tidak usah bayar DP di depan, tapi dibayar lewat skema cicilan rumah. Jadi DP 0% itu sesuatu yang semu, karena  sebenarnya ada DP tapi disamarkan.

***

Secara  metodologis empat  kasus di atas cukup untuk menarik kesimpulan adanya gejala pembangunan semu di Jakarta.  

Intinya kini Jakarta hanya berlari di tempat, tidak bergerak maju. Fakta kemajuan yang tampak atau ditampakkan atau diklaim adalah kondisi semu. Tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.

Bukan sebuah kebetulan tampaknya bahwa Pemda Jakarta kini sangat gencar  dengan  program biutifikasi kota. Sejatinya itu bisa dimaknai sebagai  kamuflase. Untuk menyembunyikan "Jakarta yang mandeg"  di balik aneka gambar berwarna-warni ceria.

Yah, mau bagaimana lagi. Pak Gubernur dan jajarannya kini lebih "gemar menggambar dan mewarnai" tembok dan pilar kota,  ketimbang membangun tembok dan pilar baru.  

Begitulah hasil studi kasus saya, Felix Tani, petani mardijker, yang tidak suka pada kesemuan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun