Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karamnya Sebuah Kapal di Danau Toba

27 Juni 2018   06:54 Diperbarui: 27 Juni 2018   12:16 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari di tahun 1968, bersama nenek dan ayah, saya menyambangi kerabat di kampung Silosung, Tapanuli Utara. Kampung itu berada di sebuah teluk kecil di pantai luar-timur Danau Toba.  

Garis pantai luar-timur Danau Toba umumnya sangat curam. Elevasinya bisa sampai 90 derajat.  Untuk mencapai Silosung, kami harus menuruni jalan setapak pada tebing dengan kecuraman sekitar  70 derajat sepanjang  kurang-lebih  100-an meter.  

Berada di lokasi sulit semacam itu, bisalah dipahami, jika pelayaran dengan kapal danau menjadi satu-satunya moda transportasi yang paling efisien  untuk warga Silosung.

Hal itu  juga berlaju bagi warga kampung tetangganya yang tergabung dalam Desa Sirungkungon. Serta bagi warga  kampung-kampung lainnya di garis pantai Danau Toba.

Muatan Berlebih dan Absennya Pengawasan

Tiba di  Silosung, kami  masuk ke dalam rumah kerabat.  Nenek langsung  menabur  beras di atas kepala nyonya rumah, Namboru (bibi, tante) saya. Itu  boras si pir ni tondi (beras penguat ruh). Tanda syukur karena Namboru telah lepas dari mara bahaya.

Ya, Namboru  adalah salah seorang survivor. Salah seorang penumpang yang selamat dari  karamnya  sebuah kapal danau pada suatu hari Sabtu  di tahun 1968. Kapal danau itu sedang dalam pelayaran menuju onan (pasar), kalau tak salah ingat,  Tigaraja, Parapat.  

Kapal  kayu itu berkuran sedang, bikinan pandai kayu lokal. Menurut Namboru usia kapal sudah terbilang tua.  Kelengkapan alat navigasi dan alat keselamatannya  tidak ada.

Hari masih pagi buta ketika kapal tua itu melaju menuju Tigaraja.  Kapal penuh dengan penumpang, termasuk Namboru.  Sarat pula dengan muatan ragam hasil bumi dan ternak,  bertumpuk  hingga ke atap kapal.  

Pemandangan "biasa" sebenarnya.  Sebab saat berangkat ke onan, warga kampung-kampung pesisir Danau Toba lazim membawa hasil bumi dan ternak kecil seperti babi dan unggas untuk dijual di pasar.  

Nanti hasil penjualannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok selama seminggu.  Seperti garam, gula, ikan asin, dan tembakau.  Atau perlengkapan dapur semisal ember, cangkir, piring, gelas, dan sendok.  Atau alat pertanian seperti parang, cangkul, tajak, dan sabit.

Pulang dari Tigaraja, atau onan lainnya, beban kapal biasanya  lebih ringan.  Tinggal penumpang dengan barang belanjaan yang umumnya tidak terlalu berat. Begitulah polanya.

Namboru dan penumpang lain, juga  nakhoda kapal, tidak pernah  punya berpikir  bahwa kapal akan karam lantaran  beban berlebih.  Karena sudah "biasa" seperti itu.

Tidak ada juga pengawasan untuk mencegah muatan berlebih.  Baik dari instansi pemerintah terkait ASDP, khususnya syahbandar, apalagi dari masyarakat sendiri. Syahbandar belum tentu ada pula di pelabuhan  pemberangkatan kapal.  

Atau kalapun ada syahbandar, wewenang pengawasannya mungkin tak berdaya menghadapi tekanan warga yang berkepentingan naik kapal.  

Masalahnya hanya ada satu kali kesempatan dalam seminggu  ke onan Tigaraja menjual hasil bumi lalu belanja kebutuhan. Jika tidak boleh naik kapal karena  muatan berlebih, maka keluarga tidak  punya stok kebutuhan pokok selama seminggu ke depan.

Begitulah. Kesempatan yang sempit untuk memenuhi kepentingan hidup telah membuat kapal danau sarat penumpang dan muatan hasil bumi.  

Muatan kapal berlebih di Danau Toba  itu adalah  konsensus tak terujar antara penumpang dan nakhoda. Wewenang pengawasan pemerintah tak kuasa bekerja di situ.

Kejadian buruk rupanya suka datang pada  saat orang terlena dengan "kebiasaan", seperti "biasa muatan berlebih" itu. Benar saja, beberapa waktu setelah meninggalkan Silosung, kapal yang sarat muatan itu tiba-tiba oleng tak terkendali.  Dengan cepat kapal melintir, terbalik menumpahkan penumpang dan muatannya, sebelum kemudian tersedot ke dasar danau.  

Namboru, menurut kisahnya, sempat ikut tersedot ke bawah permukaan danau.  Tapi dengan sekuat tenaga dia berusaha naik ke permukaan. Sempat dia tertarik lagi ke bawah, karena ada tangan seseorang yang menangkap kakinya.  

"Tak ada pilihan. Aku harus menyelamatkan diri sendiri," kata Namboru memberi alasannya mengibaskan tangan yang berpegang pada kakinya.  Air mata menggenang di pelupuk matanya.

Tiba di permukaan, menggapai ke sana kemari, tangan Namboru menangkap sekarung barang yang mengapung.  Entah apa isinya, tapi itulah yang menyelamatkan nyawanya, sampai kemudian ada perahu nelayan yang menemukan dan mengevakuasinya.

Kapal Tua dan Nakhoda Otodidak

Kisah  di atas muncul dari  memori masa kecil saya, setelah mendengar berita karamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Senin 18 Juni yang lalu.

Sebelum mendengar kisah Namboru, saya hanya mendengar kabar sumir tentang peristiwa itu. Kabarnya banyak korban tewas, kapal diterjang ombak setinggi rumah, kapal tersedot pusaran air, Dewi Air Danau Toba Boru Saniangnaga minta korban, dan lain sebagainya.  

Bahkan sempat pula beredar luas sebuah  hoax. Katanya ada orang menenemukan sepotong jari manusia di perut ikan mujair. Akibatnya pasaran ikan mujair Danau Toba waktu itu sempat anjlok, karena ngeri dengan bayangan mujair makan orang.  

Sebenarnya peristiwa karamnya kapal  di Silosung  itu bisa dijelaskan secara rasional. Muatan berlebih, adalah salah satu faktor penyebab.  Tentu ini terkait dengan  absennya pengawasan pemerintah.

Faktor lain adalah kondisi kapal tua, tanpa kelengkapan navigasi pula. Kapal tua, sebagai sebuah benda fisik, juga mengalami gejala "lelah" (fatigue). Ketahanannya terhadap terpaan angin dan ombak semakin   melemah.

Bagian danau  dari sekitar Silosung ke Tigaraja di utara dan ke Jongginihuta ke selatan, adalah selat yang  sempit. Diapit dua daratan yang permukaannya jauh di atas garis permukaan danau,  selat ini  menjadi semacam  lorong angin.  

Tahun 1971 saya pernah naik kapal danau melewati selat itu dan mengalami terjangan angin dan ombak besar dari arah utara.  Kapal oleng hebat sehingga penumpang diperintahkan duduk menumpuk di garis  tengah lambung kapal untuk menantapkan keseimbangan. Dan cara itu berhasil walaupun jantung rasanya sempat copot.

Situasi serupa agaknya dialami oleh KM Sinar Bangun yang sarat penumpang dan muatan lain, dalam pelayaran dari Simanindo, Kabupaten Samosir ke Tigaras, Kabupaten Simalungun. Jalur pelayaran itu memotong kaki "Tao Silalahi" lurus  dari arah barat (ujung utara Samosir)  ke timur (pantai luar-timur).  

Jalur itu sebenarnya lorong angin  juga, terutama jika berhembus dari arah utara, dari Tao Silalahi, bagian danau yang terluas dan terdalam.   Nakhoda kapal danau setempat mestinya sudah sangat paham perilaku cuaca di atas Tao Silalahi, dan paham cara mengatasi risikonya. Tapi kemampuan kapal dan nakhoda ada kalanya takluk pada kekuatan alam.  

Maka terjadilah petistiwa tragis yang tak pernah diinginkan: kapal karam.

Kapal karam yang mengangkut Namboru dari Silosung dulu  tidak pernah dioeriksa kelaikan berlayarnya.  Tidak ada uji kir, atau sertifikasi kelaikan kapal. Jadi warga setempat yakin saja naik kapal tua yang sudah lelah, berdasar pengalaman aman-aman saja dari dulu.

Asalkan kapal dikemudikan nakhoda yang dikenal sudah berpengalaman, maka penumpang sudah merasa aman.  Jadi, faktor kepercayaan pada nakhoda berperan penting di sini.

Tapi di situlah letak masalahnya. Apakah tepat mempercayakan keselamatan pada seorang nakhoda yang bisa melayarkan kapal berdasar pengalaman belajar otodidak?  

Nakhoda kapal rakyat di Danau Toba bukanlah lulusan sekolah pelayaran. Mereka belajar secara otodidak dari pendahulunya, mungkin bapaknya atau kerabatnya. Biasanya dimulai dari tahap kernet lalu  jadi "nakhoda tembak" dulu.

Nakhoda-nakhoda kapal danau itu tidak memiliki pengetahuan memadai tentang prinsip-prinsip pelayaran modern dan juga tak punya kemampuan memadai untuk mengantisipasi dampak cuaca ekstrim.

Mereka berlayar dengan tuntunan pengetahuan lokal saja, serta "feeling", perasaan.  Pakai perasaan karena kapal tidak punya peralatan navigasi.  

Jelas ini tidak memadai mengingat Danau Toba kini juga terkena dampak ketidak-pastian iklim global, ditandai oleh kejadian-kejadian cuaca ekstrim belakangan ini

Bayangkan saja, sejak 1968 pada peristiwa kapal karam di sekitar Silosung sampai tahun 2018 pada  peristiwa karamnya KM Sinar Bangun, kemampuan nakhida kapal rakyat di Danau Toba masih tetap sama. Kemampuan informal yang dipelajari secara otodidak. Tanpa sertifikasi, atau pendidikan terstruktur.

Sekadar Refleksi

Kiranya  faktor-faktor usia kapal, kemampuan nakhoda, muatan berlebih, pengawasan lemah, dan cuaca ekstrim telah menjadi penyebab karamnya kapal di Danau Toba.

Maka solusi sebenarnya harus mengarah pada peremajaan kapal danau, sertfikadi kapal, sertifikasi dan peningkatan kompetensi nakhoda, pengawasan ketat pada batas muatan, dan penegakan aturan pelayaran terkait kondisi cuaca.  

Tentu itu tidak mudah dilaksanakan. Apalagi wilayah danau kini tetbagi-bagi ke bawah jurisdiksi sejumlah kabupaten yang kinerja pengaturan dan pengawasannya  beda-beda.  

Belum lagi adanya variasi perilaku birokrasi antar-daerah. Ini menyulitkan penyeragaman standar terkait pelayaran di Danau Toba. Misalnya KM Sinar Bangun yang sarat muatan itu dilepas syahbandar Simanindo Kabupaten Samosir berlayar, lalu karam di perairan Tigaras Kabupaten Simalungun.

Mungkin ada baiknya dipertimbangkan  opsi penempatan pengaturan dan pengawasan  kegiatan pelayaran di Danau Toba di bawah sebuah otoritas khusus. Katakanlah semacam otoritas pelayaran Danau Toba  langsung di bawah Gubernur. 

Dengan begitu, pelayaran di Danau Toba mungkin lebih mudah ditata.  Untuk menegakkan standar keselamatan, keamanan, dan kenyamanan yang sama tinggi di setiap kegiatan pelayaran.

Itu sekadar saran dari saya, Felix Tani, petani mardijker pecinta Danau Toba.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun