Kapal karam yang mengangkut Namboru dari Silosung dulu  tidak pernah dioeriksa kelaikan berlayarnya.  Tidak ada uji kir, atau sertifikasi kelaikan kapal. Jadi warga setempat yakin saja naik kapal tua yang sudah lelah, berdasar pengalaman aman-aman saja dari dulu.
Asalkan kapal dikemudikan nakhoda yang dikenal sudah berpengalaman, maka penumpang sudah merasa aman. Â Jadi, faktor kepercayaan pada nakhoda berperan penting di sini.
Tapi di situlah letak masalahnya. Apakah tepat mempercayakan keselamatan pada seorang nakhoda yang bisa melayarkan kapal berdasar pengalaman belajar otodidak? Â
Nakhoda kapal rakyat di Danau Toba bukanlah lulusan sekolah pelayaran. Mereka belajar secara otodidak dari pendahulunya, mungkin bapaknya atau kerabatnya. Biasanya dimulai dari tahap kernet lalu  jadi "nakhoda tembak" dulu.
Nakhoda-nakhoda kapal danau itu tidak memiliki pengetahuan memadai tentang prinsip-prinsip pelayaran modern dan juga tak punya kemampuan memadai untuk mengantisipasi dampak cuaca ekstrim.
Mereka berlayar dengan tuntunan pengetahuan lokal saja, serta "feeling", perasaan. Â Pakai perasaan karena kapal tidak punya peralatan navigasi. Â
Jelas ini tidak memadai mengingat Danau Toba kini juga terkena dampak ketidak-pastian iklim global, ditandai oleh kejadian-kejadian cuaca ekstrim belakangan ini
Bayangkan saja, sejak 1968 pada peristiwa kapal karam di sekitar Silosung sampai tahun 2018 pada  peristiwa karamnya KM Sinar Bangun, kemampuan nakhida kapal rakyat di Danau Toba masih tetap sama. Kemampuan informal yang dipelajari secara otodidak. Tanpa sertifikasi, atau pendidikan terstruktur.
Sekadar Refleksi
Kiranya  faktor-faktor usia kapal, kemampuan nakhoda, muatan berlebih, pengawasan lemah, dan cuaca ekstrim telah menjadi penyebab karamnya kapal di Danau Toba.
Maka solusi sebenarnya harus mengarah pada peremajaan kapal danau, sertfikadi kapal, sertifikasi dan peningkatan kompetensi nakhoda, pengawasan ketat pada batas muatan, dan penegakan aturan pelayaran terkait kondisi cuaca. Â