Kapal Tua dan Nakhoda Otodidak
Kisah  di atas muncul dari  memori masa kecil saya, setelah mendengar berita karamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Senin 18 Juni yang lalu.
Sebelum mendengar kisah Namboru, saya hanya mendengar kabar sumir tentang peristiwa itu. Kabarnya banyak korban tewas, kapal diterjang ombak setinggi rumah, kapal tersedot pusaran air, Dewi Air Danau Toba Boru Saniangnaga minta korban, dan lain sebagainya. Â
Bahkan sempat pula beredar luas sebuah  hoax. Katanya ada orang menenemukan sepotong jari manusia di perut ikan mujair. Akibatnya pasaran ikan mujair Danau Toba waktu itu sempat anjlok, karena ngeri dengan bayangan mujair makan orang. Â
Sebenarnya peristiwa karamnya kapal  di Silosung  itu bisa dijelaskan secara rasional. Muatan berlebih, adalah salah satu faktor penyebab.  Tentu ini terkait dengan  absennya pengawasan pemerintah.
Faktor lain adalah kondisi kapal tua, tanpa kelengkapan navigasi pula. Kapal tua, sebagai sebuah benda fisik, juga mengalami gejala "lelah" (fatigue). Ketahanannya terhadap terpaan angin dan ombak semakin  melemah.
Bagian danau  dari sekitar Silosung ke Tigaraja di utara dan ke Jongginihuta ke selatan, adalah selat yang  sempit. Diapit dua daratan yang permukaannya jauh di atas garis permukaan danau,  selat ini  menjadi semacam  lorong angin. Â
Tahun 1971 saya pernah naik kapal danau melewati selat itu dan mengalami terjangan angin dan ombak besar dari arah utara.  Kapal oleng hebat sehingga penumpang diperintahkan duduk menumpuk di garis  tengah lambung kapal untuk menantapkan keseimbangan. Dan cara itu berhasil walaupun jantung rasanya sempat copot.
Situasi serupa agaknya dialami oleh KM Sinar Bangun yang sarat penumpang dan muatan lain, dalam pelayaran dari Simanindo, Kabupaten Samosir ke Tigaras, Kabupaten Simalungun. Jalur pelayaran itu memotong kaki "Tao Silalahi" lurus  dari arah barat (ujung utara Samosir)  ke timur (pantai luar-timur). Â
Jalur itu sebenarnya lorong angin  juga, terutama jika berhembus dari arah utara, dari Tao Silalahi, bagian danau yang terluas dan terdalam.  Nakhoda kapal danau setempat mestinya sudah sangat paham perilaku cuaca di atas Tao Silalahi, dan paham cara mengatasi risikonya. Tapi kemampuan kapal dan nakhoda ada kalanya takluk pada kekuatan alam. Â
Maka terjadilah petistiwa tragis yang tak pernah diinginkan: kapal karam.