Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Alangkah Jeleknya Danau Toba

7 Agustus 2016   13:22 Diperbarui: 7 Agustus 2016   15:00 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Danau Toba Jorok dan Gundul (Sumber: batakgaul.com)

Ada anekdot begini.  Sebelum bergerak menaklukkan Tanah Batak, Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirim seorang mata-mata ke Tanah Batak. Misinya: cari tahu bagaimana kehidupan orang Batak.

Mata-mata itu melaksanakan tugasnya dengan baik.  Sekembali dari Tanah Batak, dia  melapor kepada Gubernur Jenderal di Batavia.

 “Lapor,” katanya, “Tanah Batak subur-makmur.  Orang Batak hidup sejahtera dan bahagia.  Tiap sore para lelakinya  minum susu sambil nyanyi-nyanyi di kedai.”  

“Bagus,” sambut Gubernur Jenderal, “kita harus taklukkan daerah makmur itu. Sekarang juga!”

Maka dikirimlah pasukan Pemerintah Hindia Belanda untuk menaklukkan Tanah Batak.  Sukses! “Noktah putih”, tanda “wilayah merdeka” dalam  peta Pulau Sumatera hilang.

Pandangan "Orang Luar"

Apakah benar para lelaki Batak tiap sore minum susu sambil berdendang-ria di kedai?  

Tentu saja tidak.  Faktanya, mereka minum tuak di lapo tuak, sambil nyanyi’nyanyi. Sebagian mungkin kebablasan mabuk.

Jika dipindah ke masa kini, mungkin  mereka melantunkan “Lissooiii”, lagu wajib “Parmitu” (Pe-minum-tuak).  

Liriknya antara lain begini:  “Dongan sapanghilalaan o parmitu.  Dongan sapartinaonan o parmitu. Arsak rap manghalupahon o parmitu. Tole ma rap mangendehon olo tutu.”  

Artinya, kurang lebih:  “Teman seperasaan o parmitu.  Teman sependeritaan o parmitu.  Sedih sama kita lupakan o parmitu.  Mari kita sama-sama bernyanyi ya ayo.”

“Lissoi” itu bukan lagu gembira, melainkan katarsis, untuk sejenak melepas diri dari himpitan ragam masalah hidup. Terutama himpitan kemiskinan dalam aneka dimensinya. Orang Batak akan menyanyikan penderitaan, bila tak kuat lagi menangis.

Jadi, jelas sudah, Gubernur Jenderal dulu menaklukkan Tanah Batak bukan karena daerah  itu makmur.  Tapi semata-mata karena matanya gatal setiap kali melihat “noktah putih” di Pulau Sumetera dalam peta wilayah jajahan Hindia Belanda.

Pemerintah Hindia Belanda tahu persis, Dataran Tinggi Toba atau Tanah Batak itu tandus, tidak cocok untuk perkebunan, bentuk eksploitasi yang dominan waktu itu.  Pemerintah Hindia Belanda memerlukan Tanah Batak hanya sebagai “jembatan penghubung” antara Sumatera Timur dan Sumatera Barat waktu itu.

Anekdot kolonial tadi hanya untuk menunjukkan bahaya penggunaan cara pandang “orang luar” terhadap suatu masyarakat atau wilayah. Ada bahaya etnosentrisme di situ, yaitu mengenakan ukuran sendiri untuk menilai pihak lain. Hasilnya salah lihat, salah paham, salah nilai, dan salah simpul.

Itulah yang terjadi dengan Danau Toba kini. Cerita tentang Danau Toba, dalam arti masyarakat dan lingkungan hidupnya, yang tersebar luas kini adalah cerita “orang luar”. Baik “orang luar” yang berkunjung, maupun”orang luar” yang tadinya “ orang dalam” (perantau).  Mereka menebar cerita tentang Danau Toba yang indah dan damai (heavenly), berdasar pandangan “dari jauh”, pandangan yang berjarsk. Sehingga bahkan muncul julukan “Monaco of Asia” segala.

Pandangan “orang luar” itulah yang kini dipegang sebagai dasar untuk mengembangkan Danau Toba sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata nasional kelas dunia.

Tapi benarkah Danau Toba seindah dan sedamai gembar-gembor “orang luar” itu? Sehingga tinggal dipoles lalu akan laku keras dijual sebagai obyek wisata alam, budaya, sejarah, dan ekologi?

Dengan sangat menyesal, dari sisi pandang “orang dalam”, orang yang masuk ke dalam masyarakat, saya harus bilang, “Tidak benar!” Danau Toba yang “indah dan damai” adalah “kebohongan orang luar”.

Faktanya, jika dilihat dari sisi “orang dalam”, yaitu orang yang “masuk  ke dalam”, Danau Toba itu sungguh jelek. Sehingga muncul ungkapan seperti judul tulisan ini. 

Di sini saya akan tunjukkan dua kejelekan Danau Toba: jorok dan gundul.

Jorok

Jorok itu istilah awam. Istilah ilmiahnya terpolusi, atau tercemar. Danau Toba itu jorok, tercemar. Kata Menteri LHK Siti Nurbaya baru-baru ini, pencemaran di Danau Toba sudah memprihatinkan (republika.co.id, 29/7/2016).

Indikasinya adalah keberadaan 5,600 unit keramba jaring apung yang menghasilkan limbah organik tinggi. Limbah organik itu menurunkan kadar oksigen terlarut  dalam air hingga jauh di bawah ambang minimal 3.0 ppm (part per milion). Kasus terbaru, angka 9itu mencapai 0.8 ppm di perairan Haranggaol, sehingga menyebabkan kematian ikan kurang lebih 1,500 ton (tribunnews.com, 6/5/2016).

Tapi sumber pencemaran air Danau Toba tidak hanya dari keramba jaring apung. Penyumbang polutan lainnya adalah hotel, industri, pertanian, dan pemukiman di sekeling danau, baik di lingkar “dalam” (Samosir) maupun lingkar “luar”. Juga kapal danau yang membuang oli bekas di tengah danau.

Indikasi tingginya pencemaran bahan organik, selain kematian ikan yang sudah berulang kali, adalah perluasan hamparan eceng gondok yang menutup perairan pantai danau. Hamparan eceng gondok itu menyebabkan pendangkalan, penyempitan danau, dan berkurangnya ruang hidup ikan.

Bergabung dalam sebuah Tim Bapedal tahun 1995-1996, saya sempat mengelilingi Kawasan Danau Toba untuk keperluan riset pengendalian pencemaran danau. Titik-titik lokasi yang dikunjungi waktu itu adalah Tongging, Silalahi, Pangururan, Muara, Balige, Laguboti, Porsea, Parapat, Ajibata, Tomok, Ambarita, Tigaras, dan Haranggaol. 

Semua titik lokasi itu punya hamparan eceng gondok yang semakin luas. Dampak pencemaran limbah organik keramba, pertanian, hotel, dan pemukiman.

Kondisi itu kebalikan dari tahun 1974, ketika saya bersama teman-teman rombongan teater sekolah mengelilingi Danau Toba dari Haranggaol, Pangururan, Palipi, Onanrunggu, sampai Parapat. Waktu itu Terusan Wilhelmina, Pangururan masih bisa dilayari kapal danau.

Kembali ke riset pengendalian pencemaran Danau Toba. Ada empat rekomendasi yang diusulkan waktu itu, untuk mengendalikan pencemaran.

Pertama, program Adipura Khusus Kota Kecil (Kecamatan). Tujuannya untuk memacu pemerintah kota kecil/kecamatan seperti Parapat, Pangururan, Balige, dan Porsea mengendalikan pencemaran lingkungan. Usulan ini akhirnya “gone with the wind”.

Kedua, inovasi teknologi “zero waste” untuk keramba jaring apung di Danau Toba, disamping zonasi keramba. Kalau sekarang istilahnya mungkin teknologi “blue economics”. Jadi tidak perlu menghilangkan keramba. Usulan ini sama nasibnya seperti yang pertama.

Ketiga, pemanfaatan eceng gondok sebagai pakan tambahan untuk ternak babi. Ini hal baru sehingga Tim Riset waktu itu membuat satu proyek percontohan di Laguboti. Peternaknya diberi bantuan empat ekor anakan babi, dengan sistem stimulan berantai. Pemantauan di akhir semester pertama: babi lahap makan cacahan eceng gondok campur dedak. Pemantauan di akhir semester dua: babi sudah jadi “sangsang” (cincang) dan “lomok-lomok” (gajebo). Kesimpulan akhir laporan: proyek gagal.

Keempat, pembentukan Badan Otorita Danau Toba untuk mengelola kawasan Danau Toba, sehingga pengendalian pencemaran ada di tangan satu institusi.

Dua puluh tahun kemudian sejak riset tersebut, Luhut Panjaitan (saat masih Menko Polhukam) bilang  pencemaran di Danau Toba sudah pada tingkatan “luar biasa” (beritasatu.com, 25/7/2016).

Berarti, dalam 20 tahun terakhir tidak ada upaya serius untuk mengendalikan pencemaran Danau Toba. Danau yang menurut padangan “orang luar” sungguh indah damai itu, dalam kenyataannya sangat “jelek” dan berpotensi “mematikan”.

Setidaknya sudah terbukti, air danau yang kotor tercemar itu sudah membunuh ribuan ton ikan, sumber penghidupan masyarakat setempat.  

Tapi kini ada harapan perbaikan, dengan akan diikutinya rekomendasi keempat, yaitu pembentukan Badan Otorita Danau Toba.

Gundul

Sampai akhir 1970-an, kalau saya berdiri di pelabuhan Tigaraja memandang ke arah Tomok di Pulau Samosir, di belakang Tomok, pada bentangan tebing dengan elevasi di atas 60 derajad, terbaca tulisan warna hijau “RIMBA CIPTAAN”. Tulisan itu adalah konfigurasi pepohonan pinus. Tulisan itu juga terlihat jelas, dan betul indah, begitu masuk ruas jalan Sibaganding, jika datang dari Siantar.

Tahun1990-an awal, saya tak lagi melihat tulisan itu, saat mencapai Sibaganding dalam sebuah perjalanan pulang. Samosir terlihat gundul. 

Itu adalah perjalanan pulang kampung yang merisaukan.  Saya segera menemukan kenyataan menghilangnya hutan-hutan pinus di koridor kiri dan kanan jalan raya Trans-Sumatera sejak dari Parapat sampai Porsea. Pada saat bersamaan saya menyaksikan truk-truk besar bermuatan batang pinus dan kayu alam merayap menuju Porsea. Dari sesama penumpang, dan kemudian warga kampung, saya mendapat informasi bahwa itu semua pekerjaan PT Inti Indorayon Utama (IIU) pabrik pulp (bubur kertas) di Porsea.

Tahun 1995-1996, saat berkeliling Danau Toba dalam rangka riset pencemaran danau,  saya menyusuri jalur keliling Berastagi-Tongging-Sidikalang-Silalahi-Tele/Pangururan-Doloksanggul-Siborongborong/Muara-Balige/Laguboti-Porsea-Lumbanjulu-Parapat/Ajibata-Aeknauli-Tigaras-Haranggaol. Dari warga setempat saya mendapat informasi penggundulan hutan buatan dan hutan alam secara masif oleh PT IIU (sekarang dinamai PT Toba Pulp Lestari) dan sejumlah perusahaan HPH.

Sepanjang jalur tersebut saya juga menyaksikan truk-truk besar bermuatan kayu merayapi jalanan. Sementara di jalur pelayaran danau Ajibata-Tomok, kapal ferry hilir mudik menyeberangkan truk- truk bermuatan kayu hasil tebangan di Pulau Samosir. Sebagian besar kayu itu diangkut ke PT IIU untuk diolah menjadi  bubur kertas.

Pada tahun itu juga terjadi penurunan permukaan air Danau Toba. Indikasi paling menonjol waktu itu adalah pendangkalan Terusan Wilhelmina, Pangururan sehingga tak bisa dilalui kapal besar.

Ada dua faktor penyebab yang umum disebut waktu itu. Pertama, peningkatan volume air keluar danau akibat pengerukan hulu sungai Asahan untuk meingkatkan debit air masuk ke turbin PT Inalum. 

Kedua, yang terpenting, penurunan drastis debit air masuk danau pada musim kemarau  akibat penggundulan hutan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba. PT IIU dan sejumlah perusahaan HPH disebut sebagai aktor utama penggundulan tersebut. Penggundulan ini berdampak merusak pada tata air kawasan Danau Toba.

Penggundulan hutan itu ternyata tidak diimbangi dengan reboisasi atau pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang memadai. Baru-baru ini Menteri LHK menyebutkan seluas 157,0000 ha ( 21%) daerah tangkapan air Danau Toba adalah lahan kritis, atau gundul (republika.co.id, 29/7/2016).

Jelas bahwa dalam 20 tahun terakhir tidak ada upaya serius untuk memulihkan kondisi hutan di Kawasan Danau Toba. Kawasan itu tetap gundul, tandus. Jadi bagaimana mau bilang indah. Kawasan gundul sudah pasti jelek.

Bahkan bukan saja jelek, tapi juga berpotensi mematikan. Baik karena kesuburan tanah menurun, maupun karena krisis air dan bahaya longsor yang ditimbulkannya.

Sebenarnya tahun 1996 saya sempat berdiskusi dengan Prof. Midian Sirait (almarhum), pendiri Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba. Beliau punya gagasan penghijauan dengan mengembangkan perkebunan tanaman asli dataran tinggi Toba. Misalnya andaliman, antarasa, asam kandis, asam gelugur, kecapi, andalehat, dan kemenyan. Gagasan itu, saya kira, pantas ditindak-lanjuti.

Terima Fakta Terburuk

Saya tidak sedang menjelek-jelekkan Danau Toba. Untuk apa, toh faktanya memang sudah jelek, jorok dan gundul. 

Saya hanya ingin menunjukkan fakta terburuk tentang Danau Toba kini. Jorok dan gundul. Ini harus diterima lebih dulu, barulah bicara soal pengembangan Danau Toba sebagai destinasi wisata prioritas.

Sebelum membenahi yang lain, bersihkan dulu Danau Toba, dan hijaukan lagi kawasan gundulnya. Percuma membangun Bandara Silangit, revitalisasi Bandara Sibisa, membangun tol Medan-Parapat, dan membangun resort, kalau Danau Toba masih jorok dan gundul.

Lain soal kalau Pemda Lingkar Danau Toba, atau Badan Otorita Danau Toba, memang hendak menjual obyek wisata Danau Toba yang jorok dan gundul. Misalnya obyek wisata ikan mati, wisata eceng gondok, atau wisata hutan gundul.

Tapi, numpang tanya, siapa ya yang mau bayar mahal untuk “menikmati” obyek wisata semacam itu.

Baiklah, saya tak berpanjang-panjang lagi. Kalau ada yang tak setuju dengan isi tulisan ini, ayo kita berdiskusi, demi mewujudkan Danau Toba yang Bersih dan Hijau.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun