Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Alangkah Jeleknya Danau Toba

7 Agustus 2016   13:22 Diperbarui: 7 Agustus 2016   15:00 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jorok

Jorok itu istilah awam. Istilah ilmiahnya terpolusi, atau tercemar. Danau Toba itu jorok, tercemar. Kata Menteri LHK Siti Nurbaya baru-baru ini, pencemaran di Danau Toba sudah memprihatinkan (republika.co.id, 29/7/2016).

Indikasinya adalah keberadaan 5,600 unit keramba jaring apung yang menghasilkan limbah organik tinggi. Limbah organik itu menurunkan kadar oksigen terlarut  dalam air hingga jauh di bawah ambang minimal 3.0 ppm (part per milion). Kasus terbaru, angka 9itu mencapai 0.8 ppm di perairan Haranggaol, sehingga menyebabkan kematian ikan kurang lebih 1,500 ton (tribunnews.com, 6/5/2016).

Tapi sumber pencemaran air Danau Toba tidak hanya dari keramba jaring apung. Penyumbang polutan lainnya adalah hotel, industri, pertanian, dan pemukiman di sekeling danau, baik di lingkar “dalam” (Samosir) maupun lingkar “luar”. Juga kapal danau yang membuang oli bekas di tengah danau.

Indikasi tingginya pencemaran bahan organik, selain kematian ikan yang sudah berulang kali, adalah perluasan hamparan eceng gondok yang menutup perairan pantai danau. Hamparan eceng gondok itu menyebabkan pendangkalan, penyempitan danau, dan berkurangnya ruang hidup ikan.

Bergabung dalam sebuah Tim Bapedal tahun 1995-1996, saya sempat mengelilingi Kawasan Danau Toba untuk keperluan riset pengendalian pencemaran danau. Titik-titik lokasi yang dikunjungi waktu itu adalah Tongging, Silalahi, Pangururan, Muara, Balige, Laguboti, Porsea, Parapat, Ajibata, Tomok, Ambarita, Tigaras, dan Haranggaol. 

Semua titik lokasi itu punya hamparan eceng gondok yang semakin luas. Dampak pencemaran limbah organik keramba, pertanian, hotel, dan pemukiman.

Kondisi itu kebalikan dari tahun 1974, ketika saya bersama teman-teman rombongan teater sekolah mengelilingi Danau Toba dari Haranggaol, Pangururan, Palipi, Onanrunggu, sampai Parapat. Waktu itu Terusan Wilhelmina, Pangururan masih bisa dilayari kapal danau.

Kembali ke riset pengendalian pencemaran Danau Toba. Ada empat rekomendasi yang diusulkan waktu itu, untuk mengendalikan pencemaran.

Pertama, program Adipura Khusus Kota Kecil (Kecamatan). Tujuannya untuk memacu pemerintah kota kecil/kecamatan seperti Parapat, Pangururan, Balige, dan Porsea mengendalikan pencemaran lingkungan. Usulan ini akhirnya “gone with the wind”.

Kedua, inovasi teknologi “zero waste” untuk keramba jaring apung di Danau Toba, disamping zonasi keramba. Kalau sekarang istilahnya mungkin teknologi “blue economics”. Jadi tidak perlu menghilangkan keramba. Usulan ini sama nasibnya seperti yang pertama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun