Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Alangkah Jeleknya Danau Toba

7 Agustus 2016   13:22 Diperbarui: 7 Agustus 2016   15:00 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, pemanfaatan eceng gondok sebagai pakan tambahan untuk ternak babi. Ini hal baru sehingga Tim Riset waktu itu membuat satu proyek percontohan di Laguboti. Peternaknya diberi bantuan empat ekor anakan babi, dengan sistem stimulan berantai. Pemantauan di akhir semester pertama: babi lahap makan cacahan eceng gondok campur dedak. Pemantauan di akhir semester dua: babi sudah jadi “sangsang” (cincang) dan “lomok-lomok” (gajebo). Kesimpulan akhir laporan: proyek gagal.

Keempat, pembentukan Badan Otorita Danau Toba untuk mengelola kawasan Danau Toba, sehingga pengendalian pencemaran ada di tangan satu institusi.

Dua puluh tahun kemudian sejak riset tersebut, Luhut Panjaitan (saat masih Menko Polhukam) bilang  pencemaran di Danau Toba sudah pada tingkatan “luar biasa” (beritasatu.com, 25/7/2016).

Berarti, dalam 20 tahun terakhir tidak ada upaya serius untuk mengendalikan pencemaran Danau Toba. Danau yang menurut padangan “orang luar” sungguh indah damai itu, dalam kenyataannya sangat “jelek” dan berpotensi “mematikan”.

Setidaknya sudah terbukti, air danau yang kotor tercemar itu sudah membunuh ribuan ton ikan, sumber penghidupan masyarakat setempat.  

Tapi kini ada harapan perbaikan, dengan akan diikutinya rekomendasi keempat, yaitu pembentukan Badan Otorita Danau Toba.

Gundul

Sampai akhir 1970-an, kalau saya berdiri di pelabuhan Tigaraja memandang ke arah Tomok di Pulau Samosir, di belakang Tomok, pada bentangan tebing dengan elevasi di atas 60 derajad, terbaca tulisan warna hijau “RIMBA CIPTAAN”. Tulisan itu adalah konfigurasi pepohonan pinus. Tulisan itu juga terlihat jelas, dan betul indah, begitu masuk ruas jalan Sibaganding, jika datang dari Siantar.

Tahun1990-an awal, saya tak lagi melihat tulisan itu, saat mencapai Sibaganding dalam sebuah perjalanan pulang. Samosir terlihat gundul. 

Itu adalah perjalanan pulang kampung yang merisaukan.  Saya segera menemukan kenyataan menghilangnya hutan-hutan pinus di koridor kiri dan kanan jalan raya Trans-Sumatera sejak dari Parapat sampai Porsea. Pada saat bersamaan saya menyaksikan truk-truk besar bermuatan batang pinus dan kayu alam merayap menuju Porsea. Dari sesama penumpang, dan kemudian warga kampung, saya mendapat informasi bahwa itu semua pekerjaan PT Inti Indorayon Utama (IIU) pabrik pulp (bubur kertas) di Porsea.

Tahun 1995-1996, saat berkeliling Danau Toba dalam rangka riset pencemaran danau,  saya menyusuri jalur keliling Berastagi-Tongging-Sidikalang-Silalahi-Tele/Pangururan-Doloksanggul-Siborongborong/Muara-Balige/Laguboti-Porsea-Lumbanjulu-Parapat/Ajibata-Aeknauli-Tigaras-Haranggaol. Dari warga setempat saya mendapat informasi penggundulan hutan buatan dan hutan alam secara masif oleh PT IIU (sekarang dinamai PT Toba Pulp Lestari) dan sejumlah perusahaan HPH.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun