Saya baru membaca buku kumpulan pemikiran Dr. Agus Pakpahan, Mantan Dirjen Perkebunan dan Mantan Deputi Industri Primer Kementerian BUMN. Judul bukunya, “Perkebunan Pemerdekaan Indonesia” (Jakarta: Media Perkebunan, 2016). Perkebunan yang dibicarakan di sini adalah perkebunan besar.
Pakpahan mengajukan satu tesis yang sangat menantang dalam bukunya yaitu “perkebunan sebagai pemerdekaan”. Maksudnya, memerdekakan pelaku perkebunan khususnya dan bangsa Indonesia umumnya dari kemiskinan dan keterbelakangan.
Sepintas tesis itu memang melawan persepsi umum. Yang lazim disebut adalah tesis “perkebunan sebagai penjajahan”.
Lantas, bagaimana kondisi sebenarnya?
Perkebunan Masih Penjajahan
Sejarah perkebunan modern di Indonesia memang dimulai dari tonggak “perkebunan sebagai (wujud) penjajahan”.
Mulai dari perkebunan era Sistem Tanam Paksa (1980-1970) sampai Sistem Liberal (1970-1900), sejarah mencatat perkebunan sebagai moda eksploitasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia Hindia Belanda, cikal-bakal Indonesia.
Perkebunan masa itu adalah sumber kemakmuran bagi Hindia Belanda dan Tuan kebun. Tapi sebaliknya penyebab atau sumber kemiskinan bagi penduduk pedesaan Hindia Belanda. Bukan saja tenaga kerja penduduk diperas dengan upah murah, tapi tanahnya juga diserobot untuk perkebunan.
Ketika perkebunan milik asing, Pemerintah Kolonial dan Swasta Belanda/Asing Non-Belanda, dinasionalisasi tahun 1950 dan 1957, sebenarnya terbuka pilihan menjadikan perkebunan sebagai pemerdekaan.
Caranya dengan “mengembalikan” perkebunan kepada rakyat (pemilik tanah). Tentu dengan mengorganisir petani kebun ke dalam Badan Usaha Milik Petani.
Sayang, Presiden Soekarno yang “Marhaenis” itu, salah ambil keputusan. Perkebunan asing diserahkan ke bawah pengelolaaan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Watak PPN itu, sampai sekarang, tak beda dengan plantokrasi masa kolonial.
Perkebunan kita, dia alam merdeka ini, masih eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan manusia Indonesia. Karena itu, masih mengusung karakter “perkebunan sebagai penjajahan” (ekploitatif dan ekslusif). Tidak bertransformasi menjadi “perkebunan sebagai pemerdekaan” (distributif dan inklusif).
Indikatornya adalah penekanan pada peran perkebunan sebagai sumber devisa. Karena itu orientasinya adalah ekspor produk primer. Industri manufaktur perkebunan tak dikembangkan, sehingga nilai tambah dinikmati negara-negara maju (importir).
Selama “devisa” menjadi tujuan utama, dan selama industri manufaktur perkebunan belum tumbuh, maka sulit mengharapkan perkebunan sebagai pemerdekaan.
Menurut Pakpahan, perkebunan hanya mungkin menjadi suatu sistem pemerdekaan apabila mampu melepaskan diri dari karakter blueprintperkebunan kolonial.
Karakter perkebunan kolonial yang dimaksud adalah, pertama, pemihakan pemerintah terhadap perusahaan besar melalui fasilitasi HGU jangka panjang dan penyediaan jaringan infrastruktur khususnya transportasi.
Kedua, pemosisian ekspor komoditi primer atau produk antara sebagai prioritas utama sehingga industri pengolahan/manufaktur di dalam negeri kurang berkembang.
Ketiga, pelestarian sistem ekonomi ganda yaitu sektor perkebunan modern (kapitalis kaya) dan sektor pertanian pangan/kebun rakyat post-tradisional (subsisten/komersil miskin) yang berjalan di jalur masing-masing, tanpa suatu keterkaitan integratif yang signifikan.
Menuju Perkebunan Pemerdekaan
Intensi tesis “perkebunan sebagai pemerdekaan” adalah pembalikan terhadap arus utama sejarah pembangunan perkebunan nasional yaitu “perkebunan berbasis korporasi besar”.
Arus utama ini benar telah melahirkan perusahaan-perusahaan perkebunan modern skala besar, baik BUMN maupun swasta, sejak masa kolonial tapi gagal memerdekakan rakyat pedesaan dari kemiskinan.
Bahkan lebih dari itu, arus besar tersebut gagal memerdekakan perkebunan itu sendiri dari karakter kolonialisme yang eksploitatif dan eksklusif.
Gagasan pembalikan arus yang dipikirkan Pakpahan adalah “pengembalian” perkebunan ke tangan rakyat. Untuk itu ada dua “kisah sukses” yang ditawarkan sebagai model rujukan (benchmark) yaitu FELDA Malaysia dan Tata Tea India.
FELDA (Federal Land Development Authority) Malaysia adalah suatu korporasi petani yang mengelola perkebunan milik petani, yang berhasil membawa “perkebunan rakyat Malaysia” sebagai yang terbesar di Asia, sekaligus meningkatkan pendapatan pekebun dan keluarganya.
Tata Tea India adalah suatu korporasi domestik (nasionalis) yang berhasil mengakuisisi Tetley Inggris dan dengan itu menguasai produksi bahan baku, pengolahan, dan distribusi teh bukan saja di Inggris tapi dunia. Secara simultan dalam proses tersebut perkebunan teh “diserahkan” kepada rakyat dan berkebang di bawah bimbingan, dukungan, dan kerjasama Tata Tea.
Dua “kisah sukses” itu ditawarkan sebagai alternatif untuk pola PIR Perkebunan yang, karena karakter asimetrisnya, gagal mengembalikan “perkebunan” ke tangan rakyat. Pakpahan tidak menganjurkan penjiplakan model FELDA atau Tata Tea secara mentah-mentah, mengingat adanya perbedaan konteks sejarah, politik, dan ekonomi.
Lantas pola apa yang relevan? Pakpahan menawarkan pengembangan model Badan Usaha Milik Petani (BUMP) untuk mewujudkan masyarakat pekebun yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Dengan begitu, perkebunan dikembalikan ke tangan pemiliknya yaitu rakyat Indonesia.(*)